Loading...
Perlawanan rakyat menentang kesewenang-wenangan penjajah terjadi di beberapa wilayah di Indonesia. Perlawanan tersebut dilakukan oleh rakyat yang dipimpin oleh tokoh masyarakat, tokoh agama, atau pemimpin kerajaan. Perlawanan rakyat sudah berlangsung sejak lama, yaitu sejak bangsa Barat menginjakkan kakinya di Indonesia. Perlawanan rakyat itu dibedakan menjadi dua periode, yaitu perlawanan sebelum tahun 1800 dan perlawanan setelah tahun 1800.
Perlawanan Sebelum Tahun 1800
Data sejarah membuktikan bahwa kedatangan bangsa Eropa ternyata bukan hanya untuk berdagang, tetapi juga untuk menjajah. Kenyataan ini menimbulkan berbagai perlawanan di daerah-daerah untuk mengusir mereka.
Rakyat Ternate Melawan Portugis
Perlawanan yang dilakukan rakyat Indonesia terhadap dominasi asing sudah dilakukan sejak kedatangan bangsa Portugis. Kedatangan bangsa Portugis di wilayah Temate pada tahun 1512 menimbulkan kebencian rakyat Ternate.
Kebencian ini menimbulkan reaksi untuk melawan kekuasaan Portugis. Perlawanan rakyat Ternate dipimpin oleh Sultan Hairun. Permusuhan ini makin memuncak ketika Portugis gagal merampas keuntungan perdagangan cengkih dari Sultan Hairun. Pada tanggal 27 Februari 1570, terjalin perdamaian antara Sultan Hairun dan Portugis. Namun, sehari setelah perjanjian damai, Sultan Haimn dibunuh secara licik di benteng Portugis.
Pembunuhan terhadap Sultan Hairun memicu kembali perlawanan dari rakyat Ternate. Perlawanan dipimpin Sultan Baabullah (putra Hairun). Perang berkobar selama lima tahun. Seluruh rakyat bersatu padu melawan Portugis. Walaupun Portugis bertahan mati-matian, akhirnya pertahanannya lumpuh juga. Pada tahun 1574, benteng Portugis di Temate jatuh. Portugis menderita kekalahan besar. Mulai tahun 1575-1577, orang-orang Portugis berangsur-angsur terusir dari Ternate. Portugis kemudian memindah-kan kegiatannya ke Pulau Ambon hingga tahun 1605.
Rakyat Maluku Melawan Belanda (VOC)
Pada tahun 1605, Belanda mulai memasuki wilayah Maluku dan berhasil merebut benteng milik Portugis di Ambon. Belanda terus berusaha memperkuat posisinya di Maluku. Belanda mendirikan benteng-benteng di sekitar pulau yang diduduki dan melakukan monopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku.
Pada tahun 1635, rakyat Maluku mulai mengadakan perlawanan terhadap Belanda di bawah pimpinan Kakiali dan Kapten Hitu. Peperangan segera meluas di berbagai daerah. Kakiali berhasil dibunuh oleh seorang pengkhianat pada tahun 1643. Dengan gugurnya Kakiali, Belanda berhasil mematahkan perlawanan rakyat untuk sementara.
Perlawanan rakyat Maluku tidak berhenti walaupun Kakiali gugur. Beberapa waktu kemudian muncul perlawanan sengit yang dilakukan oleh orang-orang Hitu di bawah pimpinan Telukabesi. Perlawanan ini baru dapat diredakan pada tahun 1646. Pada tahun 1650, timbul lagi perlawanan serupa yang meluas mulai dari Amboina sampai Ternate. Perlawanan dipimpin oleh Saidi. Saidi tertangkap dan dibunuh sehingga berakhirlah perlawanan rakyat Maluku.
Perlawanan rakyat Maluku berikutnya dipimpin oleh Raja Tidore, Sultan Jamaluddin. Akan tetapi, pada tahun 1779 Sultan Jamaluddin berhasil ditangkap oleh Belanda dan dibuang ke Sailan (Sri Lanka). Penggantinya adalah Patra Alam, seorang kaki tangan Belanda. Namun, rakyat Tidore tidak mengakui Patra Alam sebagai sultan di Tidore. Rakyat lebih mengakui Pangeran Nuku, putra Jamaluddin sebagai Sultan Tidore. Sultan Nuku adalah sultan yang cakap dan berani. Ia juga seorang negarawan ulung.
Pada tahun 1780, pasukan Patra Alam menyerang dan mengepung tempat kediaman Sultan Nuku. Akan tetapi, Sultan Nuku dapat meloloskan diri dan menyingkir ke Halmahera. Di Halmahera, ia mendirikan markas besar untuk melawan VOC dan Patra Alam. Selama 17 tahun, Sultan Nuku berjuang melawan VOC dan Patra Alam di Maluku Utara dan Papua. Sultan Nuku juga berhasil mengadu domba bangsa Belanda dan Inggris yang berkuasa di Maluku Utara. Pada tahun 1797, Sultan Nuku bersama Panglima Zainal Abidin berhasil merebut Tidore dari tangan VOC (Belanda). Setelah Sultan Nuku meninggal (1805), Belanda dapat menguasai kembali wilayah Kerajaan Tidore.
Perlawanan Mataram terhadap VOC (1628-1629)
Pada masa pemerintahan Sultan Agung, Mataram melakukan 101QCtCA penyerangan terhadap VOC di Batavia. Alasan Mataram menyerang VOC, antara lain sebagai berikut.
1) VOC tidak mengakui kedaulatan Mataram.
2) VOC dianggap merintangi cita-cita Sultan Agung dalam menguasai seluruh wilayah Pulau Jawa.
3) VOC sering merintangi perdagangan Mataram dengan Malaka.
Serangan Mataram yang pertama terjadi pada tahun 1628. Dalam serangan tersebut, pada awalnya VOC terdesak dan korban banyak yang berjatuhan. Pasukan Mataram terus menyerang Benteng Holandia sehingga terjadi pertempuran sengit antara pasukan Mataram dan VOC. Namun akhirnya, pasukan Mataram menderita kekalahan dalam perang tersebut.
Walaupun serangan Mataram yang pertama mengalami kegagalan, Sultan Agung tidak putus asa. Mataram berusaha menggalang kekuatan yang lebih besar lagi untuk merebut Batavia. Pada bulan Juni 1629, Sultan Agung memberangkatkan sejumlah besar pasukan Mataram ke Batavia. Pada bulan September 1629, tentara Mataram mulai mengepung Benteng Holandia melalui parit-parit. Pasukan Mataram berhasil merusak benteng tersebut.
Pasukan Mataram kemudian melanjutkan serangan menuju Benteng Bommel. Namun, hal ini tidak berhasil karena cadangan logistik (gudang-gudang beras) pasukan Mataram dibakar habis oleh pasukan VOC. Akibatnya, pasukan Mataram menderita kelaparan sehingga pertahanannya menjadi lemah Akhirnya, pada bulan Sep-tember 1629 tentara Mataram mulai ditarik mundur. Dengan demikian, serangan Mataram yang kedua ini pun gagal lagi. Namun, Mataram tidak menyerah. Armada Mataram sering menyerang kapal-kapal VOC di Laut Jawa.
Perlawanan Trunojoyo terhadap VOC (1647-1679)
Trunojoyo adalah salah seorang bupati di Madura. Dia tidak senang kepada Amangkurat I (putra Sultan Agung) yang menjalin hubungan dengan Belanda (VOC). Trunojoyo memulai perlawanan terhadap VOC pada tahun 1647. Perlawanan Trunojoyo merupakan bukti bahwa rakyat sudah tidak tahan terhadap penindasan Amangkurat I.
Pasukan Trunojoyo berhasil mendesak pasukan Belanda dan Mataram yang akhirnya dapat menduduki ibu kota Kerajaan Mataram. Setelah ibu kota dikuasai (1677), seluruh perangkat kebesaran keraton diangkut Kota Kediri dijadikan pusat pemerintahan. Amangkurat I meninggalkan istana Kerajaan Mataram untuk minta bantuan kepada Admiral Speelman (VOC). Dalam perjalanannya, Amangkurat I meninggal dan dimakamkan di Tegalwangi.
Usaha Amangkurat I untuk mencari bantuan VOC dilanjutkan oleh putranya yang menyebut dirinya Amangkurat Amangkurat II meminta bantuan VOC di Jepara dan permintaan tersebut dikabulkan. Tentara VOC dipimpin oleh Kapten Tack bersama pasukan Mataram menuju Kediri. Trunojoyo terdesak dan berusaha bergabung dengan tentara Makassar di Bangil yang dipimpin Kraeng Galesong. Di daerah itu, ia membangun benteng yang kuat. Pasukan VOC menyerang benteng terakhir Trunojoyo di Bangil.
Kekuatan Belanda bertambah dengan datangnya bantuan dari Aru Palaka. Belanda dapat merebut benteng di Bangil. Trunojoyo dapat meloloskan diri ke sebelah utara Gunung Kelud. Sementara pasukan VOC yang berasal dari Ambon di bawah pimpinan Kapten Jonker melakukan pengejaran terhadap Trunojoyo. Akibat kekurangan bahan makanan, Trunojoyo dapat ditangkap (1679). Selanjutnya, Trunojoyo diserahkan kepada Amangkurat II dan dijatuhi hukuman mati.
Setelah berhasil mengatasi pemberontakan Trunojoyo, tentara VOC dan Mataram menyerang ibu kota Mataram di Plered yang sedang diduduki oleh Pangeran Puger. Ibu kota Kerajaan Mataram berhasil direbut dan Amangkurat II dinobatkan sebagai Raja Mataram. Amangkurat II memindahkan keratonnya dari Plered ke Kartasura (1679). Amangkurat II harus menandatangani perjanjian dengan VOC yang isinya sangat merugikan Mataram. Sejak saat itu, Mataram jatuh ke tangan VOC.
Perlawanan Untung Suropati terhadap VOC (1683-1706)
Untung Surapati pada awalnya dikenal sebagai budak dari Bali yang dibawa pegawai VOC ke Batavia. Untung Surapati dijadikan pasukan VOC di Batavia. Karena merasa harga dirinya direndahkan, Untung Surapati berbalik melawan VOC.
Untung Surapati segera menghimpun kekuatan untuk melawan VOC. Ia melakukan perang secara terbuka agar VOC dapat segera diusir dari Batavia. Pasukan Untung Surapati digerakkan ke Mataram, Jawa Tengah. Pasukan Untung Surapati diterima baik oleh Amangkurat II. Namun, Amangkurat II masih ragu-ragu untuk membantu Untung Surapati secara terang-terangan. VOC mengetahui bahwa Untung Surapati bergerak ke Mataram sehingga segera mengirimkan pasukan di bawah pimpinan Kapten Tack ke Mataram. Pada tahun 1686, pasukan VOC bertemu dengan pasukan Surapati dan pasukan Mataram di alun-alun Kartasura. Hal ini menyebabkan pertempuran hebat. Dalam pertempuran tersebut, pasukan VOC dapat dihancurkan dan Kapten Tack mati terbunuh.
Setelah bertempur di Jawa Tengah, Untung Surapati bergerak menuju ke Jawa Timur karenaAmangkurat II selalu ragu-ragu dalam membantunya. Sesampainya di Jawa Timur, Untung Surapati mendapat sambutan yang baik dari rakyat. Ia mendirikan pemerin-tahan baru yang berpusat di Pasuruan. Untung Surapati duduk sebagai adipati yang bergelar Aria Wiranegara. Wilayahnya meli-puti Blambangan, Pasuruan, Probolinggo, Bangil, Malang, dan Kediri.
Amangkurat II wafat pada tahun 1703 dan digantikan oleh putranya yang bernama Sunan Mas (Amangkurat III). Amangkurat III adalah raja pemberani, tegas, berpendirian kuat, dan anti Belanda. Kedudukan Amangkurat III ditentang oleh Pangeran Puger (saudara Amangkurat I). Dengan bantuan VOC, Pangeran Puger berhasil mengalahkan Sunan Mas dan menjadi raja dengan gelar Paku Buwana I. Sunan Mas yang mengalami kekalahan bergabung dengan Untung Surapati berjuang melawan VOC.
Pasukan Mataram bersama Belanda melanjutkan penyerangan ke Jawa Timur. Sebelum sampai di Bangil dan Pasuruan, Belanda harus menghadapi pertempuran di mana-mana. Meskipun kewalahan, Belanda dengan persenjataan yang lebih modern dapat menduduki Bangil (1706). Pasukan Surapati menderita kekalahan. Untung Surapati berusaha kembali bertahan di Pasuruan. Dalam perjalanan menuju Pasuruan, ia meninggal dunia (1706). Pertempuran terus berkobar di seluruh Jawa Timur, tetapi akhirnya Pasuruan jatuh ke tangan B elanda.
Perlawanan Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said terhadap VOC (1749-1757)
Pangeran Mangkubumi adalah putra Amangkurat IV, sedangkan Raden Mas Said adalah kemenakan Paku Buwana II. Perlawanan Mangkubumi dan Raden Mas S aid disebabkan VOC berusaha mencampuri urusan dalam negeri Mataram dan memaksakan kehendak melalui berbagai perjanjian. Perlawanan Mangkubumi bersama dengan Mas Said mendapat dukungan dari rakyat Mataram dan para bupati pesisir. Para pemberontak di Jawa Tengah menggabungkan diri dengan Mangkubumi dan Mas Said lalu mengadakan perang terhadap Belanda. Perang gerilya ini sangat merugikan Belanda dan juga rakyat karena daerahnya menjadi tidak aman.
Dengan gerakan yang amat cepat, Mangkubumi dan Mas Said berhasil merebut sebagian besar wilayah Mataram. Pada tahun 1751, pasukan Mangkubumi dan Mas Said berhasil menghancurkan pasukan Belanda di Lembah Bogowonto. Pasukan Belanda yang dipimpin oleh Mayor de Clerk mengalami kekalahan. Di mana-mana pasukan VOC menderita kekalahan. Untuk mematahkan perlawanan Mangkubumi dan Mas Said, VOC menggunakan politik devide et impera sehingga dapat memecah kekompakan Mangkubumi dan Mas Said. Perlawanan Mangkubumi melawan VOC berakhir dengan adanya Perjanjian Giyanti (1755). Sementara itu, perlawanan Mas Said diakhiri dengan Perjanjian Salatiga (1757).
Perlawanan Rakyat Banten terhadap VOC (1682-1683)
Pada tahun 1619 J.P. Coen berhasil merebut Jayakarta. VOC yang berpusat di Batavia ingin melebarkan sayap untuk menguasai Selat Sunda. Selat Sunda merupakan daerah perdagangan Banten yang sangat penting. Langkah VOC ditentang keras oleh Kerajaan Banten. Pertentangan antara Banten dan VOC lebih hebat ketika Banten oleh 1651-1682 . Sultan Ageng Tirtayasa adarah seorang sultan yang berani dan sikapnya selalu bermusuhan dengan VOC.
Sejak awal pemerintahannya, Sultan Ageng Tirtayasa telah berhasil menghidupkan kembali perdagangan di Banten. Untuk melemahkan kedudukan VOC di Batavia, diadakan perang gerilya dan pembakaran kebun-kebun tebu di sebelah barat Ciangke. Pada tahun 1656, dua kali kapal VOC berhasil dirampas oleh orang-orang Banten. Karena merasa tidak aman, orang-orang VOC meninggalkan Banten dan pindah ke Batavia.
Sultan Ageng Tirtayasa menjalin hubungan dengan Sultan Sibori dari Ternate untuk bersama-sama menghadapi VOC. Di samping itu, Sultan Ageng mengadakan hubungan dengan Sultan Turki dan Raja Inggris sehingga VOC mengalami kesulitan untuk menundukkan Banten.
Sultan Ageng Tirtayasa sangat gigih dalam melawan VOC. VOC berusaha mencari kelemahannya dengan melakukan adu domba. Sultan Haji (putra Sultan Ageng) berusaha merebut takhta ayahnya. Sultan Haji meminta bantuan VOC untuk menggulingkan Sultan Ageng Tirtayasa. Untuk keperluan tersebut, VOC mengirimkan sejumlah besar tentaranya. Terjadilah pertempuran sengit. Pasukan Sultan Ageng Tirtayasa terdesak mundur, mereka kemudian memusatkan pertahanannya di Istana Tirtayasa.
Setelah berhasil membebaskan Sultan Haji, tentara VOC yang dipimpin Kapten Tack, de Saint Martin, dan Jonker bergerak menuju benteng pertahanan Sultan Ageng Tirtayasa. Mereka mengepung dan menyerbu benteng dari segala penjuru. Akhirnya, benteng pertahanan dapat dikuasai VOC (1682). Sultan Ageng Tirtayasa beserta Pangeran Purbaya dan para pengawalnya dapat meloloskan diri dan melakukan perang gerilya melawan VOC. Tentara VOC berusaha mengejar walaupun dengan susah payah. Pada tahun 1683 Sultan Ageng Tirtayasa tertangkap dan dibawa ke Batavia. Selanjutnya, Sultan Ageng Tirtayasa dipenjarakan hingga mangkat (1692). Kesultanan Banten jatuh ke tangan VOC. Perdagangan menjadi makin surut. Pelabuhan tertutup bagi orang asing sehingga perekonomian lumpuh. Akibatnya rakyat menderita kemiskinan berkepanjangan.
Perlawanan Rakyat Makassar (Gowa) terhadap VOC (1616-1667)
Permusuhan rakyat Makassar dengan VOC terjadi sejak tahun 1616. Pada saat itu pembesar Makassar diundang dalam suatu perjamuan di atas kapal VOC. Namun, dalam kenyataannya mereka dilucuti sehingga terjadilah perkelahian seru 'y ang menimbulkan banyak korban di pihak Makassar. Sejak saat itu, orang-orang Makassar membenci VOC. Pada tahun 1634, VOC mengadakan blokade terhadap Makassar, tetapi tidak berhasil. Sebaliknya, di Buton banyak terjadi pembunuhan terhadap orang-orang VOC. VOC mengalami kesulitan dalam menundukkan Makassar sehingga diadakan perjanjian perdamaian yang berlangsung tahun 1637-1654.
Perjanjian damai antara Makassar dan VOC banyak dilanggar oleh VOC sendiri. Akhirnya, perang terbuka meletus pada awal tahun 1654 sampai dengan tahun 1655. Pertempuran terjadi di berbagai tempat, seperti di Gowa, Buton, dan Maluku secara serentak. VOC harus membagi kekuatan menjadi tiga bagian padahal tempatnya berjauhan. VOC yang berperang di berbagai daerah dalam waktu bersamaan itu akhirnya kewalahan. VOC kembali mengajak berdamai dengan perjanjian yang menguntung-kan Makassar. Namun, perjanjian damai itu sebenarnya hanya siasat VOC untuk mengatur strategi dan persiapan perang lebih besar.
Pada tahun 1660, VOC mengadakan serangan ke Makassar. Namun, VOC belum sepenuhnya menguasai Makassar. Untuk menguasai Makassar, VOC membantu Raja Bone, Aru Palaka yang bermusuhan dengan Sultan Hasanuddin (Sultan Gowa). Pada tahun 1666, VOC bersama Aru Palaka mengadakan serangan besar-besaran terhadap Makassar dan Bonthain. Perang yang besar ini banyak membawa korban di kedua belah pihak. Pada tahun 1667, VOC dan Aru Palaka makin meningkatkan serangan terhadap Bonthain dan Makassar. Di bawah pimpinan Speelman, VOC berhasil menguasai Bonthain. Gowa (Makassar) bertahan mati-matian, tetapi akhirnya tidak mampu meng-hadapi serangan gabungan VOC dengan Aru Palaka. Oleh karena itu, jatuhlah Makassar ke tangan VOC. Berakhirnya perlawanan Makassar ditandai dengan perjanjian damai yang disebut Perjanjian Bongaya (1667).
Daftar Pustaka : Tiga Serangkai Pustaka Mandiri
Loading...