Loading...
Dari Prasasti Malenga yang ditemukan di Banjar Arum (Tuban) diketahui nama seorang raja yang memerintah sebelum tahun 1052. Raja itu bernama Sri Maharaja Mapanji Garasakan yang telah mengalahkan musuhnya yang bernama Haji Linggajaya dan mengusirnya dari istana di Tanjung. Hal yang menarik perhatian para ahli adalah tiga buah prasasti Garasakan yang berasal pada tahun 1052. Dua di antara prasasti itu memakai lambang Garudhamuka yang dikenal sebagai lambang Airlangga. Prasasti yang satu lagi, isinya mengenai pemberian hadiah tanah kepada Desa Turun Hyang yang telah membantu melawan Haji Panjalu (Kediri). Haji Panjalu yang dimaksud mungkin Sri Samarawijaya. Setelah Garasakan, secara berturut-turut yang memerintah adalah Sri Maharaja Alanjung Ahyes (1052-1059), Sri Maharaja Samoratsaha, Sri Maharaja Sri Baweswara (1117-1130), Jayabhaya (1135-1157), Sri Maharaja Rakai Sirikan Sri Sareswara (1159-1169), Sri Maharaja Rakai Hino Sri Ayeswara yang memerintah hingga tahun 1181, Sri Gandra, Raja Kameswara, dan Raja Kertajaya (1190-1222) sebagai raja terakhir.
Jayabhaya adalah Raja Kerajaan Kediri yang terkenal. Setelah memenangkan pertempuran dengan Jenggala, ia berhasil memajukan Kediri. Isi Prasasti Ngantang yang antara lain berbunyi Panjalu Jayanti (Panjalu menang), cukup menggambarkan keberhasilannya. Kemenangannya itulah yang mengilhami dua orang pujangga besar Mpu Sedah dan Mpu Panuluh menggubah Kitab Bratayudha. Selain sebagai raja yang terkemuka, Jayabhaya dikenal pula sebagai seorang peramal atau ahli nujum. Pada masa pemerintahan Kertajaya, ia bertentangan dengan para Brahmana karena mereka dipaksa agar rnenyembahnya sebagai dewa. Oleh kareria itu, banyak Brahmana dan pengikutnya menyingkir ke Tumapel untuk meminta perlindungan Ken Arok. Pada tahun 1222, Ken Arok mengadakan pemberontakan. Dalam suatu pertempuran yang hebat di Desa Ganter, Kertajaya dan tentaranya dikalahkan.
Daftar Pustaka : YUDHISTIRA
Loading...