Loading...
Telah dikemukakan bahwa tingkat kemakmuran suatu bangsa berhubungan erat dengan pendapatan per kapita dari negara yang bersangkutan. Semakin tinggi pendapatan per kapita, semakin makmur suatu bangsa. Namun, tingginya pendapatan per-kapita tidak menjamin bahwa seluruh masyarakat telah menikmati kemakmuran.
Angka-angka pendapatan per kapita tidak menunjukkan bagaimana kenyataannya pendapatan nasional dibagikan. Misalnya, dengan meningkatnya pendapatan per kapita, kita tetap tidak mengetahui apakah keadaan sebagian besar warga miskin telah membaik atau tidak. Pendapatan per kapita hanya merupakan gambaran secara umum dari kesejahteraan penduduk suatu negara.
Struktur distribusi pendapatan nasional akan menentukan bagaimana pendapatan nasional yang tinggi mampu menciptakan perubahan dan perbaikan dalam masyarakat, seperti mengurangi kemiskinan, pengangguran, dan kesulitan lain dalam masyarakat. Distribusi pendapatan nasional yang tidak merata tidak akan menciptakan kemakmuran bagi masyarakat secara umum.
Sistem distribusi yang tidak merata hanya akan menciptakan kemakmuran bagi golongan tertentu. Sejumlah ahli ekonomi berpendapat bahwa perbedaan pendapatan timbul karena adanya perbedaan dalam kepemilikan sumber daya dan faktor produksi, terutama kepemilikan barang modal.
Jadi, seperti telah dikemukakan pada awal pembahasan ini, pihak yang memiliki barang modal lebih banyak akan memperoleh pendapatan yang lebih banyak pula dibandingkan dengan pihak yang memiliki sedikit barang modal.
Menurut teori neoklasik, perbedaan kepemilikan awal faktor produksi tersebut lama kelamaan akan hilang atau berkurang melalui suatu proses penyesuaian otomatis. Bila proses otomatis tersebut masih belum mampu menurunkan perbedaan pendapatan yang sangat timpang, maka dapat dilakukan pendekatan melalui sistem perpajakan dan subsidi. Kedua sistem itu dapat digunakan sebagai sarana untuk melakukan redistribusi pendapatan
Ada sejumlah indikator untuk mengukur tingkat ketimpangan distribusi pendapatan. Indikator yang lazim digunakan adalah Koefisien Gini (Gini Ratio) dan cara perhitungan yang digunakan oleh Bank Dunia. Koefisien Gini biasanya diperlihatkan oleh kurva yang dinamakan dengan kurva Lorenz. Kurva tersebut dapat dilihat dalam Peraga
Kurva Lorenz memperlihatkan kepada kita pemetaan persentase kumulatif pendapatan nasional sebuah negara dengan persentase kumulatif penduduknya. Pada kurva Lorenz, sumbu horizontal menggambarkan persentase kumulatif penduduk, sementara sumbu vertikal menyatakan bagian dari total pendapatan yang diterima oleh masing-masing persentase penduduk tersebut.
Sementara itu, garis diagonal di tengah disebut sebagai "garis pemerataan sempurna" karena setiap titik pada garis diagonal merupakan tempat kedudukan persentase penduduk yang sama dengan persentase penerimaan pendapatan.
Sebagai contoh, titik tengah garis diagonal menunjukkan 50% dari pendapatan didistribusikan persis untuk 50% dari jumlah penduduk.
Semakin jauh jarak garis kurva Lorenz dan garis diagonal (garis pemerataan sempurna), semakin tinggi tingkat ketidak-merataannya.
Semakin jauh jarak garis kurva Lorenz dan garis diagonal (garis pemerataan sempurna), semakin tinggi tingkat ketidak-merataannya.
Sebaliknya, semakin dekat jarak kurva Lorenz dan garis diagonal, semakin tinggi tingkat pemerataan distribusi pendapatan. Pada Peraga 7.9, besarnya ketimpangan digambarkan sebagai daerah A. Pada kasus ekstrem, yaitu jika pendapatan didistribusikan secara merata, maka semua titik akan terletak pada garis diagonal dan daerah A akan bernilai nol.
Sebaliknya pada ekstrem lain, yaitu bila hanya satu pihak saja yang menerima seluruh pendapatan,maka luas daerah A akan sama dengan luas segiitiga, sehingga angka Koefisieni Gininya adalah satu. Kesimpulan suatu distribusi pendapatan makin merata jilch nilai Koefisien Gini mendekati nol (0).
Sebaliknya, suatu distribusi pendapatan dikatakan makin tidak merata jika nilai Koefisien Gininya makin mendekati satu. Berdasarkan kesimpulan di atas, Tabel 7.8 berikut ini mem-perlihatkan patokan yang mengkategorikan ketimpangan distribusi berdasarkan nilai Koefisien Gini termasuk tinggi, sedang, atau rendah.
Contoh Hasil Perhitungan Koefisien Gini Perhitungan Koefisien Gini (Gini Ratio) secara detail akan lebih banyak dibahas dalam pelajaran Matematika. Dalam pembahasan kita ini, akan lebih ditekankan pada interpretasi hasil perhitungannya.
Untuk memberi gambaran nyata tentang besarnya Koefisien Gini perhatikan contoh tabel 7.9. Pada tabel tersebut diperlihatkan hasil perhitungan besarnya Koefisien Gini di seluruh provinsi Indonesia yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS)
Bila kita amati tabel tersebut serta melihat patokan nilai Koefisien Gini pada Tabel 7.8, dapat kita simpulkan bahwa selama tahun 1999 hingga 2004, Indonesia memiliki tingkat ketimpangan distribusi pendapatan yang rendah. Nilai Koefisien Gini Indonesia selama lima tahun terakhir ternyata hanya berkisar dan 0,31 0,33, atau lebih kecil dari 0,4.
Daftar Pustaka: PT. Phibeta Aneka Gama
Loading...