Loading...
Kemerdekaan yang diperoleh bangsa Indonesia tidak dapat dipisahkan dari peran kaum muslim, sebab Islam dianut oleh mayoritas penduduk dan Islam sangat anti penjajahan. Pemerintah kolonial Belanda sangat menyadari hal itu dan berusaha mencegahnya, namun dari waktu ke waktu pengaruh Islam justru semakin kuat. Penyebabnya antara lain pendidikan Islam tidak pernah berhenti.
Walaupun pemerintah kolonial Belanda berupaya memecah belah penduduk pribumi, menghalangi dakwah Islam, dan memberi dukungan bagi penyebaran agama Nasrani, tetapi kekuatan moral para pemimpin Islam di pondok pesantren,surau, langgar, dan madrasah tidak pernah pudar. Tokoh-tokoh pergerakan nasional dan pejuang-pejuang muslim pun bermunculan.
Banyak dari mereka menjadi tulang punggung perjuangan kemerdekaan. Beberapa tokoh pejuang tersebut di antaranya, K.H. Ahmad Dahlan, Abdullah Ahmad, Syekh M. Jamil Jambek, H. Zainuddin Labai, dan K.H. Hasyim Asy'ari. Pada saat bangsa Indonesia berjuang menghadapi pemerintah kolonial Belanda, pondok pesantren, madrasah, dan surau menjadi basis pertahanan rakyat. Semua lembaga yang ada saat itu berada di bawah tekanan pemerintah kolonial Belanda.
Para kiai, ulama, dan ustad beserta santri dan murid mereka menjadi laskar yang mandiri. Sebagian besar pondok pesantren, madrasah maupun surau menjadi pusat komando peperangan. Keadaan seperi inilah yang dimainkan oleh surau Jembatan Besi Padang Panjang (Sumatera Barat), madrasah Parabek Bukit-tinggi (Sumatera Barat), Pesantren Abah Anom Tasikmalaya (Jawa Barat), Pesantren Hasyim Asy'ari Jombang (Jawa Timur), Pondok Modern Gontor (Jawa Timur), dan beribu-ribu pondok lainnya yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Dalam menghadapi berbagai perubahan dan kebutuhan masyarakat, lembaga pendidikan Islam (madrasah maupun pondok pesantren) berkembang secara dinamis. Meskipun pada awalnya hanya mengembangkan ilmu agama, kemudian dikembangkan pula ilmu umum. Ketika sekolah-sekolah model Barat berkembang subur pada tahun 1900-an, beberapa tokoh Islam juga mengikuti perkembangan.
Mereka mencoba mendalami sistem sekolah model Barat, seperti penggunaan kurikulum yang seragam, dan pembagian siswa per kelas seperti yang dilakukan oleh Abdullah Ahmad melalui Adabivah School di Padang, Sumatera Barat (1906), H. Abdul Karim Amarullah di surau Jembatan Besi Padang Panjang (Sumatera Barat), H. Jainuddin Labai di Thawalib (1905), K.H. Ahmad Dahlan melalui sekolah Muhammadiyah di Yogyakarta (1912), Persatuan Islam (Persis), Jamiatul Khair, dan A1-Irsyad ch Jakarta.
Pada saat penjajahan Jerang, banyak para santri yang mendapat latihan ciasar kemiliteran. Umumnya mereka masuk ke dalam satuan tentara Hizbullah yang dibentuk tahun 1944. Akan tetapi Jacia juga yang masuk dalank tentara PETA (Pembela Tanah Air). Kedua organisasi kemiliteran ini memainkan peran penting pada masa perang kemerdekaan.
Daftar Pustaka: Erlangga
Loading...