Loading...
Untuk menyelamatkan keuangan negara, Belanda memerah habis-habisan sumber daya alam dan manusia di Indonesia, melalui pelaksanaan Cultuur Stelsel.
Sejak kembali ke dalam kekuasaan Belanda, Indonesia langsung berada di bawah kekuasaan Raja Belanda. Dalam tiga tahun pertama, wewenangnya itu diwakili oleh komisiariat jenderal, yang terdiri dari tiga orang. Selama tiga tahun' itu, pemerintahan Hindia Belanda berciri liberal. Indonesia ditempatkan sebagai pangsa pasar bagi pedagang manapun. Akan tetapi, pada tahun 1819, tugas komisiariat jenderal berakhir. Pemerintahan kolonial Belanda selanjutnya dipegang oleh seorang gubernur jenderal, sebagai wakil raja di tanah jajahan. Sejak saat itu,pemerintahan kembali berhaluan konservatif(kolot),yang cenderung mempertahankan politik monopolimatau menempatkan Indonesia sebagai sasaran eksplotasi.Kebijakan politik paling mencolok yang berlaku pada masa itu adalah system tanam paksa
Aturan dan Pelaksanaan Tanam Paksa
Pemberlakuan Sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) berangkat dari kondisi keuangan Belanda yang memprihatinkan. Perang Diponegoro, bersama perang-perang lainnya di seantero Indonesia, telah menelan banyak biaya, padahal pemasukan belum berjalan lancar. Kesulitan ekonomi ini diperburuk saat Belgia memisahkan diri dari Belanda pada tahun 1830. Peristiwa ini membuat Belanda kehilangan salah satu sumber utama industrinya. Untuk menyelamatkan Belanda dari kebangkrutan, Van den Bosch, gubernur jenderal Hindia Belanda ketika itu, dibebani tugas berat untuk menarik pemasukan sebanyak mungkin dari Indonesia. Setelah sekian lama menguras otak, gubernur jenderal ini memiliki gagasan untuk memberlakukan Cultuur Stelsel. Jenis tanaman yang diusahakan adalah tanaman ekspor, yang laku di pasaran dunia. Gagasan Van den Bosch disetujui. Lalu disusunlah pokok-pokok peraturan Tanam Paksa. Pokok-pokok yang termuat dalam Lembaran Negara (Staatsblad) Nomor 22 Tahun 1834 itu antara lain berbunyi sebagai berikut:
a. Para petani diwajibkan menanami seperlima tanah garapannya dengan tanaman yang laku di pasaran dunia, seperti kopi, gula (tebu), tembakau, dan nila.
b. Hasil panen tanaman tersebut harus dijual ke pemerintah dengan harga yang ditentukan oleh pemerintah.
c. Tanah garapan untuk tanaman ekspor dibebaskan dari pajak tanah.
d. Tenaga dan waktu yang diperlukan untuk mengusahakan tanaman wajib tidak boleh melebihi tenaga dan waktu yang diperlukan untuk menanam padi.
e. Kerusakan tanaman atau gagal panen yang bukan disebabkan oleh kesalahan petani menjadi tanggungan pemerintah.
f. Mereka yang tidak memiliki tanah wajib bekerja selama 66 hari setahun di kebun-kebun milik pemerintah.
Secara teoretis, pokok-pokok aturan tidak begitu memberatkan petani, bahkan tampak lebih ringan dari aturan wajib tanam sebelumnya, seperti Preanger Stelsel dan verplichte leveranties. Akan tetapi, kenyataan yang terjadi amat jauh berbeda. Penyimpangan demi penyimpangan yang muncul antara lain sebagai berikut:
a. Jatah tanah yang disediakan petani untuk tanaman wajib cenderung melebihi aturan yang ditetapkan. Apalagi tanah yang dipilih adalah tanah yang subur. Akibatnya, padi hanya bisa ditanam di lahan yang kurang subur.
b.Tanaman yang diwajibkan masih baru untuk rakyat sehingga membutuhkan penyesuaian untuk menggarapnya. Akibatnya, tenaga dan waktu yang dibutuhkan untuk menggarap tanaman wajib melebihi tenaga dan waktu untuk menanam padi.
c. Tanaman wajib harus selalu didahulukan, dengan akibat petani hanya mempunyai waktu sedikit, atau bahkan tidak punya waktu lagi, untuk mengusahakan tanaman kebutuhannya sendiri.
d. Jerih payah menggarap tanaman wajib dibayar dengan upah amat rendah.
e. Lahan yang dipakai untuk perkebunan amatlah luas sehingga memerlukan pengerahan tenaga yang tidak sedikit, bahkan termasuk para petani yang sudah punya lahan. Misalnya, pada tahun 1858, sebanyak 450.000 orang dikerahkan untuk mengerjakan penanaman kopi, dan 300.000 orang untuk penanaman tebu. Kondisi tersebut berakibat berkurangpya jumlah petani yang sempat mengu-sahakan tanaman pangan. Bahaya kelaparan mengancam!
Yang menyedihkan, penyimpangan pelaksanaan Tanam Paksa itu lebih banyak dilakukan oleh para penguasa setempat (pribumi) yang ditugaskan pemerintah untuk mengawasi jalannya sistem tersebut. Untuk memperbesar pendapatan sendiri, orang-orang tidak bertanggung jawab ini membebani petani melebihi kewajiban yang yang ditetapkan. Di lain pihak, pemerintah pun tidak bertindak apa-apa terhadap pelanggaran tersebut. Yang paling penting bagi pemerintah adalah tercapainya tujuan mengisi kas negara sesegera mungkin.
Akibat Taman Paksa
Bagi pemerintah kolonial Belanda, Sistem Tanam Paksa terbukti efektif. Keuntungan yang dihasilkan luar biasa besarnya. Misalnya, saldo keuntungan antara tahun 1832 - 1867 mencapai angka 967 juta gulden. Suatu jumlah yang luar biasa ketika itu. Kas negara yang tadinya kosong segera terisi kembali. Hutang-hutang luar negeri pun dapat dilunasi. Bahkan, masih ada sisa banyak sehingga dapat digunakan untuk memodali usaha-usaha industri di negara itu. Sebaliknya, Tanam Paksa membuat rakyat Indonesia seolah jadi sapi perahan. Sistem tanam Paksa betul-betul menguras sumber daya alam dari manusia Indonesia. Sistem tersebut merupakan kenyataan amat pahit bagi rakyat. Beban pajak yang berat, panen gagal, dan wajib kerja yang sewenang-wenang telah membawa malapateka. Contoh kesengsaraan yang dialami rakyat antara lain sebagai berikut: Di daerah Cirebon, timbul bencana kelaparan, sehingga beribu-ribu penduduk harus mengungsi ke daerah lain. Di daerah Demak dan Grobogan, ratusan penduduk meninggal akibat kelaparan.
Bencana kelaparan di Jawa Tengah diikuti dengan mewabahnya penyakit. Di mana-mana terlihat anak dan orang dewasaiterserang busung lapar dan penyakit lainnya. Kenyataan di atas sama sekali tidak menggugah hati para pejabat tinggi di pemerintahan. Mereka bahkan beralasan bahwa Tanam Paksa itu amat bermanfaat. Dengan Tanam Paksa penduduk Indonesia dilatih untuk bekerja keras, serta belajar mengusahakan tanaman-tanaman baru. Alasan tersebut jelas dicari-cari.
Reaksi Terhadap Tanam Paksa
Malapetaka beruntun akibat Tanam Paksa sudah tentu akan menimbulkan reaksi menentang. Yang menarik, selain dari Indonesia, datang pula Protes dari Belanda. terhadap pelaksanaan Tanam Paksa di Indonesia bersifat sporadis. Pada tahun 1833, terjadi huru-hara di perkebunan tebu di daerah Pasuruan. Reaksi semacam ini kerap timbul juga di daerah perkebunan lainnya. Misalnya, pada tahun 1846, terjadi pembakaran kebun tembakau seluas 7 hektar di Jawa Tengah.
Reaksi yang muncul di Negeri Belanda datang dari kaum humanis dan kaum kapitalis. Kaum humanis adalah orang-orang yang menjunjung tinggi asas-asas etika dan perikemanusiaan. Dua orang tokoh dari kaum humanis adalah Douwes Dekker dan Baron Van Hoevel. Protes keras Douwes Dekker diungkapkan melalui buku karangannya, Max Havelaar. Sebagai pengarang, ia menggunakan nama samaran Multatuli. Tulisannya itu lahir dari pengalamannya sebagai pengawas perkebunan lalu sebagai Asisten Residen Lebak. Salah satu drama dalam bukunya itu, yakni Saijah dan Adinda, secara terang-terangan mengulas penyimpangan Tanam Paksa dan penindasan rakyat yang dilakukan oleh pegawai Belanda dan penguasa setempat.
Van Hoevel pernah mengabdikan diri sebagai pendeta di Indonesia. Sekembalinya ke Negeri Belanda, ia menjadi anggota Staten Generaal (Parlemen Belanda).Dalam dewan perwakilan itu, ia menggalang kelompok yang memperjuangkan nasib rakyat di tanah jajahan. Bagi kelompok ini, Tanam Paksa tidak layak diberlakukan, karena jelas-jelas menguras sumber daya di tanah jajahan secara tidak adil. Mereka lalu menuntut pemerintah pusat dan gubernur jenderal untuk melindungi kepentingan rakyat tanah jajahan dari penindasan, bukannya sebaliknya. Kaum kapitalis adalah orang orang yang mementingkan lalu lintas modal dan kebebasan pribadi dalam kehidupan ekonomi.
Kaum ini menyuarakan pendapatnya di Parlemen Belanda. Menurut kaum ini, Sistem Tanam Paksa tidak menyehatkan kehidupan ekonomi karena menutup kemungkinan bagi penanaman modal asing. Adanya investasi akan merangsang persaingan, sehingga pertumbuhan ekonomi pun dapat terus meningkat. Maka dari itu, kaum kapitalis menuntut parlemen untuk menghapuskan Tanam Paksa.
Gelombang reaksi dari kaum humanis dan kapitalis memang menggemparkan. Apalagi ketika itu, liberalisme sedang melanda Eropa. Di kemudian hari, perjuangan kedua kelompok ini merintis lahirnya Politik Etis dan Undang-undang Agraria, yang berpengaruh besar bagi kehidupan rakyat Indonesia.
Daftar Pustaka : ERLANGGA
Loading...