Loading...
a. Banten
Ketika orang Belanda untuk pertama kalinya datang di Banten pada tahun 1596, mereka dicurigai. Akan tetapi, kemudian mereka diterima dengan baik setelah menerangkan bahwa maksud ke-datangannya hanyalah untuk berdagang. Perjanjian persahabatan antara penguasa di Banten dan Belanda pun diadakan. Belanda diijinkan berdagang dengan bebas di Banten.
Suasana persahabatan itu tidak berlangsung lama karena timbul persaingan di antara orang-orang Eropa yang berdagang di Banten. Dalam persaingan itu, orang Belanda cenderung bersikap kasar sehingga memancing keonaran. Akibatnya, beberapa orang Belanda ditangkap atas perintah penguasa Banten. Setelah dibebaskan dengan uang tebusan, orang-orang Belanda pergi meninggalkan Banten.
Setelah VOC berdiri, Belanda datang kembali ke Banten untuk menjalin hubungan perdagangan. Di kawasan ini VOC harus bersaing dengan Inggris dan Portugis. Untuk memenangkan pengaruhnya, VOC meruncingkan perseteruan antara penguasa Banten dengan penguasa Jayakarta. Upaya ini berhasil, sehingga Inggris dan Portugis tersingkir, dan VOC pun dapat memiliki kedudukan yang kuat di Jayakarta. Lama kelamaan, Banten menyadari persekutuannya dengan VOC hanyalah menguntungkan satu belah pihak. Pertentangan memuncak setelah VOC merebut Jayakarta pada tahun 1619. Pecahlah permusuhan terbuka antara Banten dengan VOC. Perlawanan Banten ditingkatkan setelah Sultan Ageng Tirtayasa naik takhta pada tahun 1651. Lima tahun kemudian, sejumlah kapal VOC berhasil dirampas oleh orang Banten, dan dilakukan pula pengrusakan perkebunan tebu milik VOC. Akhirnya, dengan susah payah VOC berhasil menundukkan Banten setelah terlebih dahulu mempengaruhi putra mahkota, Sultan Haji, agar melawan ayahandanya. Sultan Ageng Tirtayasa dapat ditawan, dan tahta Banten diduduki oleh Sultan Haji.
Sejak kekalahannya, Banten diharuskan mengikuti persyaratan yang diajukan VOC. Kongsi dagang Belanda itu memegang kendali penuh atas perdagangan Banten, khususnya ekspor lada dan rempah-rempah di Banten dan Lampung. VOC berhak juga campur tangan penuh dalam pemerintahan, sehingga penguasa Banten praktis menjadi boneka VOC. Hak kuasa Banten atas Cirebon harus dilepaskan, dan biaya perang harus ditanggung oleh Banten.
Pada tahun 1752, muncul perlawanan rakyat Banten dipimpin oleh Kyai Tapa dan Ratu Bagus Buang. Mula-mula perlawanan itu cukup mengganggu kedudukan VOC. Namun, dua tahun kemudian, perlawanan itu dapat dipadamkan.
b. Mataram
Usaha VOC menanamkan monopoli perdagangan dan mencampuri kekuasaan juga membangkitkan reaksi perlawanan dari Mataram di bawah pimpinan Sultan Agung. Pada tanggal 18 Agustus 1618, kantor dagang VOC di Jepara diserbu oleh Mataram. Serbuan itu merupakan reaksi pertama yang dilakukan Mataram terhadap VOC. Setelah melihat usaha-usaha VOC memperkuat kedudukannya di Jayakarta (Batavia), ketegangan antara Mataram dan Kompeni makin meningkat. Pada tahun 1628, Mataram mempersiapkan serangan untuk mengepung Batavia. Serangan itu digalang oleh dua pasukan. Pasukan pertama dipimpin oleh Tumenggung Baureksa, pasukan kedua dipimpin oleh Tumenggung Sura Agul-Agul. Pengepungan itu tidak berhasil mematahkan kekuatan VOC. Kegagalan itu dikarenakan pertahanan VOC yang lebih kuat, pengosongan dan pem-bumihangusan kota yang membuat pasukan Mataram mudah dipukul mundur, ku-rangnya persiapan perbekalan, melesetnya perhitungan, serta merosotnya moral prajurit yang amat lelah bertempur.
Pada tahun 1629, Mataram kembali merancang serangan ke Batavia. Persiapan untuk serangan kali ini dipusatkan pada logistik. Selain persenjataan dan pengangkutan, dibangun gudang-gudang beras di sepanjang rute perjalanan pasukan di pantai utara Jawa. Sayangnya, persiapan itu diketahui VOC. Gudang-gudang perbekalan dapat dihancurkan oleh armada VOC, berikut kapal-kapal angkut. Meskipun demikian, serangan ke Batavia tetap dilancarkan. Serangan kali ini dipimpin oleh Kyai Adipati Juminah, K.A. Purbaya, dan K.A. Puger. Berturut-turut Benteng Hollandia, Bommel, dan Weesp diserbu, namun tidak dapat direbut karena kuat pertahanannya.
Hubungan antara VOC dan Mataram tetap buruk sampai meninggalnya Sultan Agung pada tahun 1645. Dalam berbagai kesempatan, prajurit Mataram berupaya untuk melakukan sabotase terhadap kapal-kapal VOC yang melintasi Laut Jawa. Namun, keadaan berbalik setelah Sultan Agung wafat. Para pengganti Sultan Agung cenderung mau berkompromi dengan VOC. Akibatnya, VOC dapat meluaskan pengaruhnya di Mataram. Meskipun demikian, kerja sama antara penguasa Mataram dengan VOC tidak memadamkan perlawanan rakyat di kawasan ini.
Perlawanan itu antara lain dipimpin oleh Trunojoyo dan Untung Suropati. Perlawanan Trunojoyo, yang meletus sekitar tahun 1674, dipelopori oleh Trunojoyo, seorang pangeran asal Madura. Perlawanan ini tadinya ditujukan kepada pengganti Sultan Agung, Amangkurat I.Trunojoyo menganggap pemimpin Mataram ini bertindak totaliter dalam pemerintahannya. Namun, karena Amangkurat mau berkompromi dengan VOC, perlawanan Trunojoyo akhirnya ditujukan ke VOC juga. Perlawanan itu cukup merepot-kan VOC, apalagi setelah didukung oleh sebagian besar penguasa di pesisir utara Jawa Tengah dan Timur serta sejumlah pelaut Bugis yang handal. Berkali-kali kapal-kapal VOC mendapat serangan. Mulanya VOC mencoba mengajak Trunojoyo berunding. Karena ditolak, dilancarkanlah ekspedisi militer besar-besaran untuk menyerang pusat pertahanan Trunojoyo di Kediri. Trunojoyo terpaksa menyingkir ke Gunung Kelud. Tak lama kemudian, ia menyerah kepada VOC, lalu tewas terbunuh di tangan Amangkurat II.
Perlawanan Untung Suropati berawal dari kebenciannya akan tindakan sewenang-wenang prajurit VOC. Perlawanan mulai dilakukan di sekitar Batavia, lalu merambat ke Cirebon, Priangan, dan Mataram. Dalam perjuangannya, Untung Suropati sempat bersekutu dengan Amangkurat II. Persekutuan ini cukup ampuh, terbukti dari berhasilnya pasukan VOC dihalau dari Mataram. Perlawanan Untung Suropati berakhir, saat pertahanannya di Pasuruan, Jawa Timur, diserbu dan dihancurkan oleh sepasukan besar VOC pada tahun 1706.
c. Banjar
Banjar berdiri sebagai kerajaan sejak sekitar pertengahan abad 16. Agaknya pengaruh Jawa pada kerajaan Islam ini cukup besar. Selain sistem pemerintahan, beberapa unsur budaya Jawa diambil pula oleh kerajaan yang terletak di pantai Kalimantan Selatan ini. Pertentangan sekali-kali pernah terjadi antara Banjar dengan Tuban, Surabaya, dan juga Mataram yang hendak memaksakan kekuasaannya terhadap Banjar. Akan tetapi, pertikaian ini kemudian hilang dan terjadi hubungan yang baik, ketika VOC mulai muncul.
Di pelabuhan kerajaan Banjar tersedia bahan perdagangan hasil-hasil bumi setempat, seperti kapur barus, intan, dan batu bezoar. Namun komoditi
utama Banjar adalah lada. Itulah sebabnya, VOC yang dipimpin oleh Michielszoon bermaksud memonopoli lada di kawasan itu. Monopoli tersebut dibakukan dalam suatu kontrak dengan Sultan Banjar pada tahun 1606. Namun, pada kenyataannya perdagangan lada di Banjar bukan dikendalikan oleh sultan melainkan oleh para pangeran. Mereka ini menganut perdagangan bebas. Lada mereka jual kepada pembeli manapun yang dianggap layak. Kondisi ini membuat VOC gusar dan berupaya memaksakan monopoli. Muncullah perlawanan terhadap VOC, sehingga untuk sementara kongsi dagang ini gagal mena-namkan pengaruhnya di Banjar. Pada tahun-tahun berikutnya, VOC datang lagi ke Banjar. Beberapa kali kontrak dibuat (1635, 1660, 1664, 1733) untuk menjamin tersedianya lada bagi VOC. Akan tetapi, kontrak itu tidak dipedulikan. Orang Banjar tetap berdagang lada secara bebas. Demi kepentingan monopolinya, VOC memblokade Banjar untuk menutup kemungkinan kapal-kapal asing berdagang di Banjar. Muncullah reaksi menentang dari rakyat Banjar. Reaksi tersebut semakin meluas setelah VOC banyak campur tangan dalam urusan istana Banjar. Tokoh penentang melawan VOC antara lain adalah Sultan Mohammad Aliuddin Aminullah.
Oleh karena tidak ada keserentakan dan organisasi, perlawanan Banjar terhadap VOC makin melemah. Apalagi ada perbedaan sikap terhadap VOC di kalangan istana. Karena perpecahan itu, pengaruh VOC semakin kuat. Sejak tahun 1787, VOC memegang kendali perdagangan di Banjar. VOC pun mengawasi secara ketat jalannya pemerintahan. Pemilihan dan pengangkatan patih, misalnya, harus melalui persetujuan VOC.
d. Makassar
Kesultanan Makassar menempati kedudukan yang baik dalam jalur perdagangan rempah-rempah antara Malaka, Jawa, dan Maluku. Kenyataan ini disadari oleh VOC, sehingga mereka bermaksud menerapkan monopoli perdagangan di k awa san itu. Rakyat dan penguasa Makassar menentang niat VOC tersebut. Tokoh penentang yang menonjol adalah Sultan Hasanuddin.
Upaya perlawanan antara lain kan dengan mengirim kapal-kapal ke Maluku secara sembunyi-sembunyi untuk membeli rempah-rempah sekaligus memasok barang-barang kebutuhan pokok, lalu menyokong perlawanan rakyat Maluku terhadap VOC, dan menjalin hubungan dagang secara bebas dengan para pedagang asing. Upaya tersebut mengakibatkan kerugian cukup besar bagi VOC, Perang terbuka antara VOC dengan Makassar tidak terhindar lagi.
Untuk menaklukkan Makassar, armada VOC di bawah pimpinan Cornelis Speelman menyerbu pelabuhan Sombaopu dari laut dan darat. Dalam serangan tersebut, VOC dibantu oleh pasukan Bone di bawah pimpinan Aru Palaka, yang bermusuhan dengan Makassar. Sekutu ini akhirnya dapat memaksa Makassar untuk menyerah. Pada tahun 1667, Hasanuddin harus menandatangani Perjanjian Bongaya. Dengan perjanjian itu, Makassar kehilangan haknya atas wilayah jajahannya serta kendali perdagangan di wilayahnya.
Daftar Pustaka : ERLANGGA
Loading...