Loading...
Mayor Jenderal Soeharto (Panglima Kostrad/Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat) setelah menerima laporan, segera membuat perkiraan, dan akhirnya mengambil suatu kesimpulan. Bahwa para perwira tinggi itu telah diculik dan mungkin pula sudah dibunuh sehingga saat itu telah terjadi kekosongan kepemimpinan. Setelah membuat kesimpulan Mayor Jenderal Soeharto langsung mengambil alih pimpinan Angkatan Darat untuk sementara waktu.
Langkah pertama adalah mengadakan kontak dengan Pangdam V / Jaya, Mayor Jenderal Umar Wirahadikusumah. Kemudian berusaha menetralisasi pasukan-pasukan yang menduduki Lapangan Merdeka. Mereka diketahui berasal dari Batalyon 454 /Diponegoro dan Batalyon 530 /Brawijaya.
Setelah diadakan usaha beberapa kali, tepat pukul 15.00 WIB pimpinan Batalyon 530 (Wadan Yon 530) Kapten Soekarbi rdan Kapten Koentjoro (Wadan Yon 454) datang menghadap Panglima Kostrad. Pukul 16.00 Kapten Soekarbi datang lagi dengan pasukannya yang ternyata kurang satu kompi karena sudah berada di Halim, sedangkan Kapten Koentjoro tidak lagi menghadap.
Tindakan kedua, yaitu merebut kembali Gedung RRI dan Pusat Telekomunikasi. Tugas ini dipercayakan kepada pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang dipimpin oleh Kolonel Sarwo Edhie Wibowo. Tugas itu diselesaikan hanya dalam waktu 25 menit.
Dengan dikuasainya obyek vital itu, maka pada Pukul 20.10. Mayor Jenderal Soeharto melalui RRI mengu-mumkan bahwa pada tanggal 1 Oktober 1965 telah terjadi penculikan terhadap beberapa Perwira Tinggi Angkatan Darat.
Penculikan itu dilakukan oleh golongan kontra revolusioner yang me-namakan dirinya Gerakan 30 September. Diumumkan pula bahwa Gerakan 30 September telah mengambil alih kekuasaan atau kup dari tangan Presiden. Selanjutnya dikatakan bahwa Gerakan 30 September pasti dapat dihancurkan dan negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila akan tetap berdiri dan jaya.
Penumpasan G-30-S-1965/PKI
Menjelang penyerangan ke Halim Perdanakusumah, diketahui bahwa Presiden Soekarno saat itu berada di sana. Oleh karena itu, melalui kurir khusus, Presiden Soekarno diberitahukan agar meninggalkan Halim. Presiden kemudian berangkat ke Bogor.
Serangan pembebasan Halim Perdanakusumah dilakukan oleh Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) di bawah pimpinan Kolonel Sarwo Edhie Wibowo, Batalyon 328/Kujang, dan dua kompi pasukan Kavaleri. Pada tanggal 2 Oktober 1965 puku115.00, Pangkalan Halim telah dikuasai kembali tanpa banyak perlawanan.
Hanya satu perlawanan kecil yang dilakukan oleh pasukan Batalyon 454/ Para Diponegoro di Kampung Lubang Buaya. Dalam operasi pembersihan di kampung itu, atas petunjuk salah seorang anggota polisi yang bernama Sukitman, lubang sumur tua tempat jenazah para Perwira Angkatan Darat berhasil ditemukan pada tanggal 3 Oktober 1965.
Dengan dikuasainya daerah Halim Perdanakusumah, maka usaha perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh gerombolan G-30-S /PKI berhasil digagalkan. Rencana G-30-S / PKI untuk mengganti Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dengan paham Marxisme dan Leninisme tidak berhasil.
Pancasila tetap tegar sebagai dasar negara dan falsafah bangsa. Keberhasilan ABRI dan rakyat dalam menumpas gerombolan G-30-S /PKI diperingati setiap tanggal 1 Oktober, sebagai Hari Kesaktian Pancasila. PKI dan ormas-ormasnya yangdituduh sebagai dalang Peristiwa G-30-S/ PKI ditumpas bukan hanya di Jakarta, tetapi juga di seluruh pelosok tanah air.
Rakyat mengambil inisiatif dan bertindak sendiri-sendiri dengan membakar tempat kediaman tokoh-tokoh PKI, kantor-kantor, dan pusat kegiatan PKI lainnya. Sejak terjadinya peristiwa berdarah 1 Oktober 1965 hingga bulan Maret 1966, situasi politik tetap panas.
Bahkan, semakin mencekam karena semua organisasi Pancasilais yang didukung oleh pemuda-pelajar dan mahasiswa serta ABRI, mulai melancarkan tuntutan kepada pemerintah agar Partai Komunis Indonesia beserta ormas-ormasnya dibubarkan. Presiden dalam menanggapi tuntutan rakyat itu hanya memberikan janji-janji yang tidak segera dipenuhi hingga keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966.
Dampak Sosial Politik dari Peristiwa G-30-S/PKI di Dalam Masyarakat
Peristiwa G-30-S/PKI berdampak luas terhadap kehidupan sosial politik ditanah air. Akibat peristiwa itu, maka timbul saling mencurigai antarkelompok dalam masyarakat yang satu dengan kelompok masyarakat lainnya.
Di Pulau Jawa dan beberapa daerah lainnya timbul aksi-aksi penumpasan terhadap anggota maupun simpatisan PKI dan organisasi yang seazas dengan partai itu. Dalam kondisi yang demikian, tentu saja kestabilan keamanan, politik, maupun pemerintahan menjadi sesuatu yang sulit terwujud.
Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai dalang Peristiwa Gerakan 30 September, banyak anggotanya yang dibantai. Tidak sedikit yang ditangkap dan dipenjarakan atau dibuang ke Pulau Buru di Maluku. Di samping itu penertiban dilakukan terhadap perusahaan-perusahaan dilingkungan ABRI.
Penertiban terhadap perusahaan-perusahaan itu dilakukan berdasarkan instruksi Presidium Kabinet No. 48 /Instr/ 1965 tertanggal 20 Oktober 1965, sedangkan penertiban terhadap lingkungan ABRI berdasarkan instruksi Menghankam Kasab No. 105/1965 tertanggal 12 November 1965.
Guna menanggapi dan mengatasi keadaan itu, maka pimpinan ABRI segera mengeluarkan instruksi pembekuan terhadap PKI seperti Komite Sentral Pusat (CC) PKI Komite Daerah Besar (CCDB) PKI. Begitu pula terhadap organisasi-organisasi massa yang bernaung di bawahnya, seperti SOBSI, CGMI, Pemuda Rakyat, dan Gerwani. Pemerintah kemudian menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang di seluruh Indonesia untuk mengantisipasi agar peristiwa yang sama tidak terulang kembali.
Daftar Pustaka: Yudhistira
Loading...