Loading...
1. Rapat Raksasa di Jakarta
Pada tanggal 19 September 1945, dilangsungkan rapat raksasa di Lapangan Ikada-Jakarta. Rapat itu terlaksana atas prakarsa dari para pemuda vang bermarkas di Jln. Menteng 31 dan Jln. Prapatan 10 Jakarta. Rapat bertujuan untuk memperlihatkan dukungan rakyat terhadap pemerintah dan negara Republik Indonesia yang baru diproklamasikan.
Pada saat itu, tentara Jepang berusaha menghalang-halangi pelaksanaan rapat itu dengan bersenjata lengkap, bahkan didukung oleh sejumlah mobil lapis baja. Namun, mereka tidak dapat berbuat apa-apa karena lautan massa rakyat terus membanjiri lapangan itu. "Sekali Merdeka Tetap Merdeka", merupakan semboyan paling populer pada saat itu.
Rakyat Indonesia tidak takut pada kematian. Lebih baik mati untuk mempertahankan kemerdekaan daripada hidup dalam penjajahan. Sebaliknya, tentara Jepang yang menyaksikan lautan massa rakyat itu merasa gentar. Semangat militerisme mereka yang sebelumnya sangat ditakuti merosot dan tenggelam dalam lautan massa rakyat.
Berjam-jam rakyat menunggu dengan sabar. Mereka mulai berdatangan dan memenuhi Lapangan Ikada sejak subuh untuk mendengar pidato presidennya yang bersemangat berapi-api. Presiden Soekarno yang didampingi Wakil Presiden Moh. Hatta baru tiba di Lapangan Ikada sore hari.
Kedua tokoh proklamator itu dipagari oleh para pemuda militan yang merupakan perisai hidup. Presiden Soekarno pun turun dari mobil, melangkah ke mimbar. Ia menyerukan agar mereka tetap tenang dan kembali ke tempat masing-masing dengan tertib sambil menunggu instruksi berikutnya.
Massa taat pada perintah presidennya dan bubar dengan tenang. Peristiwa ini merupakan bukti pertama bahwa rakyat Indonesia taat kepada presidennya sekaligus menaikkan kewibawaan pemerintah Republik Indonesia di mata tentara-tentara Jepang yang menyaksikannya langsung dengan mata kepala sendiri. Mereka merasa kagum dan hormat.
Saat itu, Presiden Soekarno memang tidak mau berpidato sebagaimana biasanya, bersemangat, berapi-api, dan mampu membakar semangat siapa saja yang mendengarnya. Hal itu dikarenakan ia memperkirakan apabila pidato seperti itu disampaikan, akan terjadi pertumpahan darah karena tentara Jepang tidak segan-segan menggunakan senjata api yang dimilikinya.
2. Insiden Bendera di Surabaya
Pada tanggal 19 September 1945 di Surabaya terjadi sebuah peristiwa yang dikenal dengan "Insiden Bendera" . Insiden dipicu oleh tindakan beberapa orang belanda eks tawanan yang baru saja dibebaskan oleh Jepang, menaikkan bendera merah-putih-biru di puncak Hotel Yamato Jln. Tunjungan, Surabaya. Tindakan orang-orang Belanda itu memicu kemarahan para pemuda setempat.
Mereka menyerbu hotel itu sehingga nyaris menimbulkan per-tumpahan darah. Beberapa pemuda memanjat puncak hotel tersebut dan menurunkan bendera B elanda itu. Mereka kemudian menyobek bagian birunya dan mengibarkan kembali bagian merah-putihnya sebagai bendera Republik Indonesia.
3. Pertempuran 1 Oktober 1945 di Surabaya
Bentrokan terjadi antara Angkatan Kepolisian di bawah pimpinan Muhammad Yasin dengan tentara Jepang terjadi di Surabaya pada tanggal 1 Oktober 1945. Setelah bertempur selama kurang lebih 5 jam, Markas Kempetai yang merupakan lambang kekejaman tentara Jepang berhasil direbut dan senjata mereka dilucuti. Dalam pertempuran itu, 25 orang pemuda gugur, 60 orang luka-luka, dan 15 orang tentara Jepang tewas.
4. Pertempuran Oktober 1945 di Yogyakarta
Sikap anti tentara Jepang di Yogyakarta sudah diperlihatkan sejak tanggal 26 September 1945. Pada hari, itu semua pegawai pemerintah dan pegawai perusahaan yang dikuasai Jepang mengadakan aksi pemogokan. Mereka menuntut agar kantor-kantor dan perusahaan-perusahaan Jepang segera diserahkan kepada pemerintah Republik Indonesia.
Sementara itu, upaya-upaya damai untuk memperoleh senjata dari tangan tentara Jepang ternyata tidak berhasil. Pada malam tanggal 7 Oktober 1945, anggota Badan Keamanan Rakyat (BKR) bersama Angkatan Polisi Istimewa menyerbu Markas Otsuka Butai di Kota Baru. Otsuka Butai dan tentaranya menyerah dan mereka dilucuti. Dalam penyerbuan itu jatuh sejumlah korban, termasuk 18 orang anggota polisi.
5. Pertempuran Lima Hari, 14 Oktober 1945 di Semarang
Bentrokan terbesar antara pemuda dan rakyat terhadap tentara Jepang terjadi di Semarang yang berlangsung pada tanggal 14-20 Oktober 1945. Pertempuran itu terkenal dengan sebutan Pertempuran Lima Hari di Semarang. Insiden berawal ketika 400 orang veteran Jepang akan diperkerjakan untuk mengubah pabrik gula Cepiring menjadi pabrik senjata.
Dalam perjalanan ke tempat yang berjarak 30 km sebelah barat Semarang itu, mereka mengadakan pemberontakan dan menyerang polisi yang mengawalnya. Orang-orang Jepang itu melarikan diri dan berhasil bergabung dengan Kidobutai di Jatingaleh di bawah pimpinan Mayor Kido.
Bersamaan dengan kaburnya para tawanan Jepang itu, tersiar berita bahwa cadangan air minum di Candi telah diracuni oleh mereka sehingga menimbulkan kegelisahan dan kemarahan masvarakat setempat. Sehubungan dengan itu, rakyat pun bergerak untuk melucuti tentara Jepang sehingga terjadilah perang besar.
Pertempuran Lima Hari di Semarang itu melibatkan kurang lebih 2.000 orang tentara Jepang bersenjata lengkap yang dihadapi oleh Peta dan rakvat. Pertempuran berakhir dengan jumlah korban di pihak Jepang sekitar 1.000 orang tewas, sedangkan dari pihak Peta, pemuda, dan rakyat sebanyak 2.000 orang, termasuk dr. Karyadi Kepala Laboraturium Rumah Sakit Umum Semarang.
Untuk mengenang jasa paracorban, pemerintah membangun sebuah tugu peringatan di kota Semarang yang disebut Tugu Muda. Untuk mengenang jasa dr. Karyadi, dibangunlah sebuah rumah sakit yang dinamai Rumah Sakit dr. Karyadi.
Selain di Pulau Jawa, gejolak yang sama terjadi pula di daerah-daerah luar Pulau Jawa, antara lain Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan, Sumatra, Bali, Nusa Tenggara, dan lain-lain. Perlawanan terhadap Jepang, baik di Pulau Jawa maupun di daerah-daerah lain, terus berlanjut hingga masuknya tentara Sekutu.
Daftar Pustaka: Yudhistira
Loading...