Loading...
Perkembangan Ketatanegaraan Pada Periode Berlakunya Kembali UUD 1945 (5 Juli 1959-19 Oktober 1999)
Berikut ini adalah perkembangan ketatanegaraan di Indonesia pada periode berlakunya UUD 1945 di masa dari masa (5 Juli 1959 - 19 Oktober 1999).
Masa Orde Lama
Pada tahun 1955 Bangsa Indonesia telah berhasil mengadakan pemilihan umum untuk memilih anggota parlemen dan anggota konstituante. Tugas konstituante adalah membuat suatu rancangan undang-undang dasar yang tetap sebagai pengganti UUDS 1950. Namun, konstituante belum berhasil merumuskan rancangan UUD yang baru tersebut selama hampir dua tahun. Pada tanggal 22 April 1959 di depan sidang konstituante, Presiden Sukarno menyarankan untuk kembali kepada UUD 1945. Pada umumnya, saran dan presiden tersebut diterima, tetapi ada sebagian anggota konstituante yang ingin memasukkan kembali tujuh kata di belakang sila pertama seperti yang tercantum dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945.
Sejak tanggal 3 Juni 1959, anggota konstituante mengadakan reses yang berkepanjangan sehingga sebagian besar anggota tidak ingin menghadiri siding lagi. Hal ini berarti konstituante telah gagal dalam melaksanakan tugasnya. Kegagalan ini sangat membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa, serta keselamatan negara, nusa, dan bangsa ataupun pembangunan nasional. Atas dukungan sebagian besar rakyat Indonesia dan gagalnya konstituante dalam menjalankan tugasnya maka pada tanggal 5 Juli 1959 dikeluarkanlah dekret presiden, yang isinya
- menetapkan pembubaran badan konstituante;
- menetapkan UUD 1945 berlaku kembali, dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950;
- pembentukan MPRS dan DPAS.
Dengan berlakunya kembali UUD 1945, rakyat berharap kehidupan ketatanegaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia berjalan stabil dan demokratis dalam mewujudkan tujuan bangsa Indoensia. Meskipun di dalam pelaksanaan UUD 1945 terjadi penyimpangan-penyimpangan. Penyimpangan-penyimpangan ideologis tersebut adalah konsepsi Pancasila berubah menjadi konsepsi Nasakom (nasionalis, agama, dan komunis).
Masa Orde Baru
Pemberontakan G-30-S/PKI dapat digagalkan berkat kewaspadaan dan kesigapan ABRI (sekarang TNI dan Poiri) dengan dukungan kekuatan rakyat. Keberhasilan itu mendorong lahirnya Orde Baru yang bertekad untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara muri dan konsekuen. PKI telah dua kali mengkhianati negara, bangsa, dan dasar negara yang sama-sama kita cintai. Atas dasar itulah rakyat menghendaki dan menuntut dibubarkannya PKI.
Dengan dipelopori oleh pemuda/mahasiswa, rakyat menyampaikan “Tn Tuntutan Rakyat” (Tritura), yaitu
- bubarkan PKl;
- bersihkan kabine dan unsur-unsur PKI;
- turunkan harga-harga/perbaikan ekonomi.
Dalam situasi itulah presiden mengeluarkan surat perintah kepada Letnan Jenderal Suharto, Menteri/Panglima Angkatan Darat pada tanggal 11 Maret 1966. Inti surat perintah itu adalah memberikan wewenang kepada Letjen. Suharto untuk mengambil langkah-lahgkah pengamanan yang dianggap perlu untuk menyelamatkan keadaan. Lahirnya Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) ini dianggap oleh rakyat sebagai lahirnya Orde Baru.
Dengan berlandaskan pada Supersemar itu, pengemban Supersemar telah membubarkan PKI dan ormas-ormas. Pembubaran PKI itu ditanggapi dan disambut gembira oleh seluruh rakyat Indonesia. Dengan semangat Supersemar, Orde Baru mulai mawas din dan melaksanakan koreksi dengan cara-cara yang konstitusional, terutama dalam menegakkan, mengamankan, mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Sumber Pustaka: Tiga Serangkai
Loading...