Loading...
Perkembangan Organisasi Mahasiswa Indonesia Di Negeri Belanda
Setelah
Perang Dunia I berakhir, jumlah generasi baru mahasiswa Indonesia yang
datang ke negeri Belanda semakin meningkat. Di antara generasi baru
mahasiswa itu terdapat Sutomo, Hatta, Sartono, Au Sastroainidjojo,
Budiarto, Twa Kusumasumantri, dan Iskaq. Mereka kemudian menjadi
tokoh-tokoh politik nasionalisme Indonesia pada tahun 1920-an. Ternyata
para generasi baru itu meiniliki kesadaran politik jauh lebih tinggi dan
pada generasi mahasiswa sebe1umny. Di antara mereka banyak yang telah
aktif dalam organisasi mahasiswa ketika masih berada di Indonesia,
seperti Sutomo ikut mendirikan Budi Utomo dan Hatta pemah menjadi Ketua
long Sumatera (1918-1921).
Para mahasiswa yang
bergabung dalam organisasi mahasiswa Indonesia itu membentuk komunikasi
kecil yang berhubungan erat satu sama lainnya. Pada tahun 1926 jumlah
anggota hanya terdiri dan 38 orang. Bagi para pemuda Indonesia yang
aktif di bidang politik, pengalaman hidup dan belajar di negeri Belanda
mempunyai dampak yag mendalam. Karena pertama kalinya mereka hidup bebas
dan dianggap sederajat dengan orang Eropa dalam masyarakat maupun dalam
hukum.
Beberapa anggota dan generasi baru mahasiswa
mengandalkan pengalamannya berorganisasi di Indonesia untuk terjun ke
kancah politik di negeri Belanda. Perkembangan politik anggota mahasiswa
dipengaruhi semangat besar oleh para pimpinan Indische Partij (1913)
dan juga dipengaruhi oleh tokoh-tokoh PKI seperti Darsono dan Semaun,
serta tokoh SI seperti Abdul Muis (awal tahun 1920). Tokoh-tokoh itu
dengan cepat mendoininasi Indische Vereeniging dan menyalurkan
anggotanya ke dalam kegiatan Indische Vereeniging sehubungan dengan
masalah masa depan politik Indonesia.
Para pemimpin
Perhimpunan Indonesia. Dari kiri ke kanan: G. Mangunkusumo, Mohammad
Hatta, Iwa Kusuma Sumantri, Sastro Mulyono, dan M. Sartono.
Pada
tahun 1922, pengurus yang barn terpilih mulai mengubah sif at,
cita—cita dan kegiatan perkumpulan. Pada tahun 1925 Indische Vereeniging
mengubah din dan suatu perkumpulan sosial menjadi organisasi politik
yang aktif.
Pada rapat umum bulan januari 1923, Twa
Kusuma Sumantri sebagai ketua baru memberi penjelasan bahwa organisasi
yang sudah dibenahi itu mempunyai tiga asas pokok; pertama, Indonesia
ingin menentukan nasib sendiri; kedua, agar dapat menentukan nasib
sendini, bangsa Indonesia harus mengandalkan kekuatan dan kemampuan
sendiri; ketiga, dengan tujuan melawan Belanda, bangsa Indonesia harus
bersatu.
Ia menekankan kepada para mahasiswa untuk
terus mengikuti perkembangan politik di Indonesia. Ta juga menyatakan
bahwa cara tercepat untuk mencapai ketiga sasaran tersebut adalah jika
semua kelompok Indonesia bersatu dalam peiuangan bersama melawan
Belanda. Dalam rapat umum yang diadakan bulan Januari 1924, Indische
Vereeniging berganti nama menjadi Indonesische Vereeniging. Dengan nama
Indonesia ini, mengungkapkan sikap, lebih kuat sebagai orang Indonesia
dan bukan lagi vereeniging sebagai orang Hindia Belanda. Nama majalah
Hindia Putera diganti menjadi Indonesia Merdeka.
Dalam
kata pengantar edisi pertama dikemukakan adanya persamaan antara
penjajahan Indonesia oleh Belanda dan pendudukan yang dilakukan oleh
Spanyol di Belanda. Dan kata pengantar itu, para mahasiswa member
argumentasi bahwa sekarang orang Indonesia juga tidak lagi bersedia
menyebut negerinya sebagai Hindia Belanda seperti halnya orang Belanda
ketika tidak mau menyebutkan negaranya Nederland-Spanyol. Melalui
pelajaran sejarah Belanda, mereka mengetahui tentang keberanian
orang-orang Belanda menentang Spanyol. Pelajaran sejarah inilah yang
memunculkan semangat perlawanan mereka terhadap pemerintahan asing
(Belanda).
Kata pengantar Indonesia Merdeka menjelaskan
kata “Merdeka” mengandung ungkapan tentang tujuan dan usaha keras
kaini, mulai sekarang dan seterusnya. “Indonesia Merdeka” akan menjadi
semboyan perjuangan pemuda Indonesia. “Merdeka adalah cita-cita umum
umat manusia; setiap bangsa mempunyai keinginan kuat untuk hidup
merdeka. Gagasan tentang kemerdekaan tidak berbeda dan satu bagian dunia
ke bagian dunia lainnya”. Kemerdekaan adalah cita-cita umat manusia dan
bukan cita cita Barat; seluruh bumi ini adalah kuil kemerdekaan.
Dengan
deinikian Indonesische Vereeniging adalah salah satu organisasi
nasionalis Asia yang paling awal menuntut kemerdekaan. Radikalisme para
pemuda nasionalis Indonesia merupakan refleksi dan gerakan nasionalis
Indonesia sebab mereka tidak pernah diberi kesempatan untuk berdialog
dengan pemermntah Belanda. Apalagi memperoleh tanggapan konstruktif dan
pemerintah Hindia Belanda tntang tuntutannya secara bertahap menyiapkan
pemerintahan sendiri. Oleh karena itu, para anggota Indonesische
Vereeniging marah dan jengkel menghadapi kerasnya pendirian Belanda dan
menyatakan dukungannya terhadap tuntutan radikal agar “Indonesia Merdeka
sekarang”.
Untuk memberi tekanan kepada perubahan dan
propaganda yang lebih luas tentang tujuan dan ideologinya yang barn,
pada tahun 1924, Indonesische Vereeniging menerbitkan bukiet untuk
memperingati 15 tahun berdirinya organisasi itu. Sampillnya
menggambarkan simbol gerakan nasionalis, yaitu sebuah bendera Merah
Putih yang berkibar dan Kepala Kerbau berada di tengahnya. Semua artikel
di dalamnya tidak mencantumkan nama pengarang dan meliputi berbagai
masalah mulai dan sejarah berdirinya Indonesische Vereeniging (1908)
sampai masa reorganisasi tahun 1922 serta penjelasan tentang berbagai
aspek program kelompok tersebut.
Indonesische
Vereeniging ecara resini menjadi sebuah organisasi politik pada bulan
Januari 1925. Dalam rapat umum bulan itu ada anggota bemama Hadi
mengusulkan agar kembali kepada ciri-ciri ash yaitu sebuah perkumpulan
netral bagi mahasiswa Indonesia. Akan tetapi, usul itu ditentang oleh
anggota-anggota terkemuka seperti Nazir Pamuntjak, Sartono dan Semaun.
Mereka menyatakan bahwa selama 15 tahun bersikap nonpolitik, perhimpunan
ini tidak mencapai apa-apa. Sikap netral atau mau bekeija sama dengan
penguasa kolonial dalam kenyataannya hanya pengkhianatan dan memerlukan
aksi kuat untuk melawannya.
Dalam rapat yang
diselenggarakan pada tanggal 3 Februari 1925 nama baru Perhimpunan
Indonesia (PT) sudah dipakai. Indonesia Merdeka menjelaskan bahwa
perubahan yang terjadi selama tahun sebelumnya itu dimaksudkan untulc
memuinikan organisasi dengan mengajukan argumentasi hahwa
prinsip-prinsip Perhimpunan Indonesia sejak dulu sudah jelas. Oleh
karena itu, tidak ada lagi tempat orang-orang yang secara
terang-terangan mengajukan prinsip-prinsip sebahiknya.
Sebuah
artikel dalam Indonesia Merdeka yang diterbitkan bulan Februari 1925,
inirip bagai bunyi trompet ke medan perang di bawah judul “Strijd in
Tzvee ront” (Perjuangan di Dua Front). Artikel ini menyatakan bahwam
perjuangan akan lebih berat dan lebih patut, tetapi para pemuda
Indonesia tidak dapat menghindarinya. Mereka harus bersedia mengorbankan
semua daya dan kepandaian mereka jika ingin mencapai kemerdekaan.
Perjuangan itu tidak hanya melawan Belanda, tetapi juga melawan sesama
orang Indonesia yang menentang ideologi nasionalisme.
Sumber Pustaka: Erlangga
Loading...