Loading...
Masih ingat materi pembelajaran tentang "Terbentuknya Sistem Pemerintahan Kolonial di Indonesia" yang dibahas di kelas VII? Dalam materi pembelajaran tersebut dikatakan bahwa sistem pemerintahan kolonial Barat telah mengubah bentuk hubungan antara bangsa Barat dengan bangsa pribumi (penduduk Indonsia). Jika semula bangsa Barat sederajat dengan bangsa Indonesia, maka dalam perkembangan yang kemudian terjadi bangsa Barat lebih unggul dibandingkan dengan bangsa Indonesia dalam berbagai bidang.
Sebagai dampaknya adalah terj adinya stratifikasi sosial (pelapisan masyarakat) dalam masyarakat Indonesia sehingga golongan yang satu lebih unggul dibandingkan dengan golongan yang lain. Produk hukum yang dibuat oleh pemerintah kolonial, Indische Staatsregeling (IS), mengatur adanya strifikasi sosial dalam masyarakat Indonesia. Penduduk Indonesia dibedakan menjadi empat golongan, yaitu: 1) Eropa, 2) Tionghoa, 3) Indonesia asli Kristen, dan 4) Indonesia asli non-Kristen. Tiap golongan mempunyai sta-tus berbeda. Penggolongan status sosial juga terjadi dalam bentuk lain, yaitu sebagai berikut.
a. Orang Belanda dan Eropa lainnya. Golongan ini merupakan golongan paling atas. Jumlah mereka sedikit tetapi seperti disebutkan dalam materi pembelajaran di kelas VII, golongan inilah yang mendominasi berbagai bidang kehidupan dalam masyarakat.
b. Orang Indo dan Timur Asing. Orang Indo atau peranakan adalah hasil perkawinan campuran antara dua ras. Perkawinan campuran yang paling banyak adalah perkawinan campuran antara laki-laki Belanda dengan perempuan pribumi. Sementara itu, golongan Indo dan Timur Asing merupakan peringkat kedua dalam pelapisan sosial di Indonesia. Golongan ini kehidupannya cukup baik karena menguasai kehidupan perekonomian Indonesia. Mereka terdiri dari petani kecil atau buruh.
c. Golongan bumiputra. Mereka jumlahnya paling banyak, namun justru golongan inilah yang paling menderita. Oleh karena itu kadang-kadang ada orang Indonesia yang berpendidikan Belanda dan mempunyai jabatan tinggi dalam pekerjaannya, meminta agar haknya disamakan dengan orang Eropa. Usaha ini tidak mudah karena Belanda menghalanginya dengan membedakannya melalui apa yang disebut.Korps Administrasi Eropa dan Korps Administrasi Bumiputra. Korps Administrasi Eropa yang berpusat di Jakarta adalah suatu korps yang terkait dengan kategori ras. Korps ini dapat memaksakan kehendaknya kepada korps lain, termasuk kepada Korps Administrasi Bumiputra.
Kuatnya sistem hukum yang diciptakan oleh pemerintah kolonial, dapat menyebabkan terjadinya pelapisan sosial dalam masyarakat yang majemuk. Pelapisan sosial semakin menjadi rumit setelah digunakan berbagai macam kriteria dalam stratifikasi sosial. Ada yang merasa kedudukannya paling tinggi karena keturunan, karena pengetahuannya yang luas tentang agama, dan ada pula yang merasa kedudukannya paling tinggi karena kekayaannya. Masing-masing kelompok minta agar dirinya dianggap yang paling tinggi. Karena itu kemudian timbul apa yang disebut dengan istilah "konflik antar elit".
Diskriminasi juga dilakukan pemerintah kolonial dalam bidang pendidikan. Sebagai perwujudan dari edukasi dalam Trias van Deventer, pemerintah mendirikan sekolah-sekolah. Pada mulanya Belanda mendirikan sekolah kelas dua dan sekolah kelas satu. Sekolah kelas satu untuk mendidik pegawai-pegawai rendahan, sementara sekolah kelas dua diperuntukkan bagi anak-anak dari golongan atas. Kemudian pemerintah mendirikan sekolah untuk anak-anak golongan atas yang disebut HIS (setingkat SD), sementara untuk anak-anak orang Belanda didirikan ELS. Lama belajar di HIS selama 7 tahun dan bahasa pengantar yang digunakan bahasa Belanda. Bagi siswa yang pandai dan orang tuanya mampu, setamat HIS dapat melanjutkan ke MULO (setingkat SMP), dan selanjutnya ke AMS (setingkat SMA). Selanjutnya siswa yang telah lulus dari AMS dapat melanjutkan ke sekolah tinggi.
Pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah kolonial ternyata dapat mengakibatkan terjadinya mobilitas sosial vertikal. Artinya, orang yang semula berada di kelas bawah dapat naik ke kelas di atasnya. Pada awalnya pemerintah kolonial menggunakan pemimpin formal tradisional untuk membantu kelancaran pemerintahannya. Mereka terdiri dari penguasa daerah atau keluarga bangsawan. Dalam perkembangannya, status saja ternyata tidak cukup. Agar urusan administrasi dan pelayanan pemerintahan dapat berjalan dengan baik, maka diperlukan tenaga yang mempunyai keahlian dan terlatih. Karena itu dalam pengangkatan pegawai, pemerintah tidak hanya mempertimbangkan faktor keturunan, tetapi juga faktor keahlian yang diperoleh melalui pendidikan.
Dampak dari adanya perubahan dalam sistem pengangkatan pegawai adalah banyak anak-anak yang berasal dari golongan rendah diangkat menjadi pegawai pemerintah. Ini berarti anak-anak dari golongan rendah memasuki lingkungan baru. Oleh karena kelompok pegawai termasuk
golongan atas, maka terjadilah mobilitas sosial vertikal. Selain terjadinya mobilitas sosial vertikal juga terjadi mobilitas sosial horizontal. Artinya adalah perpindahan dari suatu tempat ke tempat lain. Misalnya orang-orang dari Jawa pindah ke Sumatra untuk bekerja sebagai buruh di perkebunan milik asing. Perpindahan mereka ke tempat yang baru juga mengakibatkan terjadinya pelapisan sosial, yaitu terbentuknya kelas majikan dan kelas buruh.
Daftar Pustaka : Yudhistira
Loading...