Loading...
Dalam upaya menegakkan pengadilan HAM telah dibentuk pengadilan khusus terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Dengan munculnya pengadilan hak asasi manusia diharapkan akan dapat melindungi hak-hak dasar manusia, baik perorangan maupun masyarakat. Hal ini didasarkan pada pelanggaran hak asasi manusia yang dibuat merupakan Extra Ordinary Crimes dan berdampak secara luas, baik pada tingkat nasional maupun internasional. Selain itu, pengadilan HAM ad hoc digunakan untuk memeriksa, memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang pengadilan HAM.
Ketentuan Pidana
Dalam ketentuan undang-undang pengadilan hak asasi manusia tersebut dicantumkan ketentuan pidana.
1) Untuk pelaku kejahatan genosida dan kejahatan kemanusian diberikan ancaman hukuman mati, penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama dua puluh lima tahun dan paling ringan sepuluh tahun.
2) Untuk kejahatan penyiksaan diancam dengan hukuman maksimal lima belas tahun penjara dan minimal lima tahun penjara.
3) Bagi pelanggaran hak asasi manusia yang berupa kekerasan seksual, penganiayaan sara dan penghilangan secara paksa diancam dengan hukuman selama-lamanya dua puluh tahun penjara dan paling ringan sepuluh tahun penjara.
4) Bagi kejahatan yang dikategorikan percobaan, pemufakatan jahat, atau perbantuan melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat dianggap sebagai tindak pidana yang telah selesai (sempurna) pelaksanaannya dikenakan penjara sebagaimana ketentuan di atas.
Demikian juga seorang komandan militer dapat dimintai pertanggungjawaban atas pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang dilakukan oleh pasukannya serta seorang atasan dapat dimintai pertanggungjawaban atas pelanggaran hak asasi manusia berat yang dilakukan bawahannya dengan ancaman hukuman sesuai dengan ketentuan pidana yang telah disebutkan di atas.
Konsekuensi dari Peradilan HAM
Keberadaan pengadilan HAM di Indonesia adalah merupakan langkah besar bangsa ini yang harus diberi apresiasi politik terlepas dari kualitas putusan hakim yang harus di penuhi. Setelah kehadiran pengadilan HAM di Indonesia, Indonesia mengalami kemajuan pesat dalam bidang HAM. Para hakim, jaksa, dan pengacara mau tidak mau, suka tidak suka dituntut memiliki pengetahuan dalam bidang HAM. Jaksa dan hakim harus bekerja keras untuk mengadili para pelanggar HAM. Demikian juga para akademisi di perguruan tinggi juga dituntut pemahaman tentang HAM.
Dalam Pasal 90 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 menyatakan setiap orang atau kelompok orang yang memiliki alasan kuat bahwa hak asasinya telah dilanggar dapat memajukan laporan dan pengaduan dengan lisan atau tertulis kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Dalam hal pengaduan dilakukan pihak lain maka pengaduan harus disertai dengan persetujuan dari pihak yang hak asasinya dilanggar sebagai korban, kecuali untuk pelanggaran hak asasi manusia tertentu berdasarkan petunjuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia termasuk juga pengaduan melalui perwakilan. Pengaduan melalui perwakilan adalah pengadilan yang dilakukan oleh perorangan atau kelompok untuk bertindak mewakili masyarakat tertentu yang dilanggar hak asasinya dan atau dasar kesamaan kepentingan hukumnya.
Perlindungan Saksi
Di Indonesia sebelum lahir Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tidak dikenal adanya perlindungan bagi korban dan saksi. Akibatnya banyak korban pelaku kejahatan yang enggan untuk membuat laporan pengaduan atas tindak pidana yang dialaminya. Demikian juga banyak saksi yang enggan memberikan kesaksiannya karena takut keselamatannya terancam.
Kondisi demikian telah diantisipasi dalam Pasal 34 Undang-Undang No. 26 Tahun 2000. Setiap korban dan saksi dalam perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak mendapat perlindungan fisik dan mental dari segala macam bentuk ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak mana pun. Perlindungan ini wajib diberikan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan.
Penangkapan dan Penahanan
Setelah mendapat laporan telah terjadinya pelanggaran terhadap hak asasi manusia berat, maka dilakukan penangkapan terhadap tersangka. Penangkapan dilakukan oleh penyidik harus disertai dengan bukti permulaan yang cukup, surat tugas, dan surat penangkapan serta uraian singkat pelanggaran hak asasi manusia berat yang disangkakan. Setelah bukti permulaan dipandang cukup (Pasal 184 KUHAP) berupa keterangan saksi (minimal dua orang), keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa bila masih diperlukan, bisa dilakukan penahanan. Untuk melakukan penangkapan minimal telah ada dua alat bukti. Tujuan penahanan adalah tersangka / terdakwa tidak melarikan diri, merusak barang bukti menghilangkan barang bukti, dan mengulangi pelanggaran hak asasi manusia berat. Selain itu, juga untuk memudahkan dilakukannya penyelidikan dan penyidikan. Penyidik dalam melakukan tugasnya mempunyai kewenangan sebagai berikut.
1) Melakukan penyelidikan dan pemeriksaan.
2) Menerima laporan dan pengaduan.
3) Melakukan pemanggilan dan meminta keterangan.
4) Memanggil saksi.
5) Meninjau tempat kejadian.
6) Memanggil para pihak yang terkait.
7) Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa pemeriksaan surat, penggeledahan, dan penyitaan serta pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan, dan tempat-tempat lain yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu serta mendatangkan ahli dalam hubungan penyelidikan.
Penggeledahan, dan penyitaan serta pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan, dan tempat-tempat lain yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu serta mendatangkan ahli dalam hubungan penyelidikan.
Peradilan
Setelah penyidikan selesai maka berkas dilimpahkan ke pengadilan untuk dilakukan penuntutan. Majelis hakim yang memeriksa perkara pelanggaran hak asasi manusia berat terdiri dari lima orang yaitu dua orang hakim dari pengadilan hak asasi manusia dan tiga orang hakim ad hoc. Apabila yang bersangkutan (tersangka dan jaksa) tidak puas dengan putusan hakim, maka mereka dapat melakukan upaya hukum yang lebih tinggi lagi, yaitu banding, kasasi, dan peninjauan kembali putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (PK).
Kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan salah satu kejahatan internasional. Selain genosida, kejahatan perang, perang agresif, dan bajak laut. Persangkaan terhadap orang yang melakukan kejahatan internasional berlaku yurisdiksi universal yang implikasinya tersangka dapat dituntut oleh siapa saja, di mana saja dan kapan saja. Dalam sangkaan atas kejahatan internasional penuntutan dapat dilakukan oleh suatu negara atau penuntut internasional. Namun, penuntutan tidak bisa dilakukan lagi apabila tersangka meninggal dunia atau apabila terhadap mereka para tersangka telah dilakukan penuntutan dan diproses peradilan. Doktrin nebis in idem yang berlaku dalam hukum pidana berlaku juga dalam kejahatan internasional. Oleh karena itu, dengan memberlakukan asas nebis in idem perlu digelar peradilan HAM nasional yang fair dan tidak memihak kepada pelaku pelanggaran HAM.
Peradilan internasional yang berwenang mengadili para tersangka kejahatan internasional dapat dikategorikan dalam dua bentuk. Pertama, peradilan internasional yang bersifat ad hoc, berarti setelah selesai mengadili peradilan itu dibubarkan. Kedua, peradilan internasional yang bersifat permanen, yaitu Internasional Criminal Court (ICC) yang didirikan berdasarkan sebuah perjanjian internasional tahun 1998 yang dikenal dengan nama statuta roma. Tujuan ideal pengadilan hak asasi manusia adalah untuk memelihara perdamaian dunia, menjamin hak asasi manusia serta memberikan perlindungan, kepastian, keadilan, dan perasaan perorangan ataupun masyarakat.
Tujuan praktisnya adalah untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Oleh karena itu, ruang lingkup kewenangannya meliputi memeriksa dan memutuskan pelanggaran hak asasi manusia berat, sedangkan terhadap kejahatan hak asasi manusia berat sebelum undang-undang ini berlaku ditangani oleh pengadilan hak asasi manusia ad hoc.
Daftar Pustaka : YUDHISTIRA
Loading...