Loading...
Semula PKI berencana akan mengadakan pemberontakan kembali pada tanggal 17 Agustus 1966. Namun, ternyata pemberontakan itu dilaksanakan lebih cepat satu tahun, yaitu tanggal 30 September 1965. Hal itu disebabkan oleh adanya pernyataan dari tim dokter Cina yang merawat Presiden Soekarno yang menyebutkan bahwa presiden akan lebih cepat meninggal atau setidak-tidaknya akan mengalami kelumpuhan.
Oleh karena itu, Aidit mengambil keputusan mempercepat pemberontakan dengan alasan bahwa bila ternyata PKI gagal, Presiden masih dapat membela mereka. Sasaran pertama dari aksi kebiadaban PKI tertuju pada pimpthan-pimpinan teras Angkatan Darat yang tidak berhasil dibina oleh Biro Khusus PKI.
Biro Khusus PKI menghubungi anggota-anggotanya dari Angkatan Darat, Udara, Laut, Kepolisian, dan Cakrabirawa (Pasukan Pengawal Presiden), sebagai pelaksana pengambilan para perwira tinggi Angkatan Darat dari rumahnya masing-masing, baik dalam keadaan hidup maupun mati.
Sementara itu, dengan dalih melatih sukarelawan yang akan dikirim ke Malaysia dalam rangka Dwikora, PKI mengadakan latihan militer di daerah Lubang Buaya. Sampai akhir bulan Agustus 1965, di daerah Lubang Buaya telah dilatih sekitar 3000 orang anggota PKI dan anggota organisasi-organisasi lainnya, seperti Pemuda Rakyat dan Gerwani.
Pada malam hari tanggal 30 September 1965, Letnan Kolonel Untung, Brigjen Soepardjo, Kolonel Latief, Letnan Kolonel Heru Atmodjo, Mayor Soedjono, Mayor Gatot Soekrisna, Aidit, Syam, dan Umar Dhani berkumpul di Halim Perdana Kusuma. Pada pertemuan malam itu, mereka memutuskan menculik perwira-perwira teras Angkatan Darat.
Sebelum subuh tanggal 1 Oktober 1965, mereka yang menamakan dirinya Dewan Revolusi mulai mengerahkan anggota-anggotanya yang terdiri atas tujuh kelompok, masing-masing dengan sasarannya. Perwira-perwira Tinggi Angkatan Darat yang menjadi sasaran kebiadaban Gerakan 30 September 1965 / PKI adalah sebagai berikut:
- Letnan Jenderal Achmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat) ditembak mati di rumahnya oleh gerombolan PKI dipimpin Peltu Mukidjan.
- Mayor Jenderal Haryono (Deputy Khusus) ditembak mati di rumahnya oleh kelompok gerombolan yang dipimpin oleh Serka Bungkus.
- Mayor Jenderal Soeprapto (Deputy Pembinaan) diculik hidup-hidup dan dibawa ke Lubang Buaya oleh Pasukan Kawal Kehormatan Cakrabirawa.
- Brigjen D.I. Panjaitan (Asisten IV) ditembak mati di rumahnya oleh kelompok gerombolan yang dipimpin oleh Serma Soekardjo.
- Mayor Jenderal S. Parman (Asisten I) diculik oleh kelompok pimpinan Serma Satar dan dibawa ke Lubang Buaya.
- Brigjen Soetoyo Siswomihardjo (Direktur Kehakiman/ Oditur Jenderal TNI Angkatan Darat) diculik oleh kelompok Pasukan Cakrabirawa.
Jenderal A.H. Nasution, Menteri Koordinator Hankam/Kepala Staf Angkatan Bersenjata yang sebenarnya merupakan orang pertama sasaran penculikan, berhasil meloloskan diri. Namun, puterinya Ade Irma Suryani Nasution tertembak dan akhirnya meninggal.
Ajudannya, Lettu Pierre Andreas Tendean diculik dan dibawa hidup-hidup ke Lubang Buaya oleh gerombolan PKI yang dipimpin oleh Pelda Djahurub. Dalam peristiwa tersebut juga tewas Brigadir Polisi K.S. Tubun, Pengawal Waperdam II Dr. J. Leimena yang rumahnya berdampingan dengan rumah Jenderal A.H. Nasution.
Konon, di Lubang Buaya mereka yang masih hidup disiksa dengan berbagai cara oleh Gerwani, kemudian diberondong dengan senjata api. Jenazah para perwira itu kemudian dimasukkan ke dalam sebuah lubang sumur tua dan ditimbuni dengan tanah dan sampah.
Selain di Jakarta, di Jawa Tengah terjadi pula pembantaian terhadap Komandan Korem 072, Kolonel Katamso, dan Kepala Stafnya, Letnan Kolonel Soegiyono, di Desa Kentungan. Pada waktu yang bersamaan dengan penculikan para Perwira Tinggi itu, dua Batalyon Raider menduduki Lapangan Merdeka di jantung Kota Jakarta. Mereka menguasai Istana Presiden, Gedung RRI, dan Pusat Telekomunikasi.
Daftar Pustaka: Yudhistira
Loading...