Loading...

Wewenang Dan Kedudukan Mahkamah Internasional Dan Persyaratannya

Loading...

Wewenang Dan Kedudukan Mahkamah Internasional


Wewenang mahkamah diatur oleh Bab II statuta yang khusus mengenai wewenang mahkamah dengan ruang lingkup rnasalah-rnasalah mengenai sengketa. Untuk mempelajari wewenang mi hams dibedakan antara wewenang ratione personae, yaitu siapa-siapa saja yang dapat mengajukan perkara ke mahkamah dan wewenang ratione materiae, yaitu mengenai jenis sengketas engketa yang dapat diajukan.

Akses ke Mahkimah Hanya Terbuka untuk Negara (Wewenang Rafione Personae)

Individu dan organisasi-organisasi intemasional tidak dapat menjadi pihak dan suatu sengketa di depan mahkamah. Pada prinsipnya, rnahkamah hanya terbuka bagi negara-negara anggota dan Statuta. Negara-negara mi terutama semua anggota PBB (189 negara).


Namun selain anggota PBB, negara yang bukan anggota PBB dapat menjadi pihak pada statuta mahkamah dengan syarat-syarat yang akan ditentukan oleh Majelis Umum atas rekomendasi Dewan Keamanan. Keputusan mahkamah adalah keputusan organ hukum tertinggi di dunia. Penolakan suatu negara terhadap keputusan lembaga tersebut, akan dapat merusak citranya dalam pergaulan antarbangsa apalagi jika sebelumnya negara-negara tersebut telah menerima wewenang wajib mahkamah. Oleh karena itu, dengan mengadakan pengecualian terhadap ketentuan tersebut, juga diberikan kemungkinan kepada negara-negara lain yang bukan pihak pada statuta untuk dapat mengajukan suatu perkara ke mahkamah (Pasal 35 ayat 2 statuta). Dalam hal mi, dewan keamanan dapat menentukan syarat-syaratnya.

Kedudukan Individu

Penolakan akses terhadap individu-individu ke mahkamah bukan berarti bahwa sengketa-sengketa yang diajukan ke mahkamah tidak akan pernah menyangkut individu. Melalui mekanisme perlindungan diplomatik di bidang pertanggungjawahan internasional, negara dapat mengambil alih dan memperjuangkan kepentingan-kepentingan warga negaranya di depan mahkamah. Banyak perkara ying diperiksa mahkamah yang berasal dan pelaksanaan perlindungan diplomatik negara terhadap warga negaranya, misalnya perkara Ambatielos dan International Court Justice (ICJ) (1952-1953),

Kedudukan Organisasi Internasional

Pasal 34 ayat 1 statuta hanya membolehkan negara-negara untuk mengajukan suatu sengketa ke mahkamah. Namun, ayat 2 dan 3 pasal tersebut, memberikan kernungkinan kerja sama antara organisasi-organisasi internasional dan mahkamah. Dalarn hal mi, mahkamah juga menentukan syarat-syarat kerja sama dengan organisasi-organisasi internasional.

Untuk pertama kali mahkamah dapat meminta organisasi-organisasi internasional untuk memberi keterangan-keterangan mengenai soal- soal yang diperiksanya. Organisasi-organsasi internasional tersebut, dengan inisiatif sendiri mengirimkan keterangan yang diperlukan ke mahkamah. Selanjutnya, jika dalam pemeriksaan suatu perkara, mahkamah terpaksa menginterpretasikan piagam konstitutif suatu organisasi internasional ataU suatu konvensi yang dibuat atas dasar piagam tersebut, panitera mahkamah berhak meminta keterangan kepada organisasi internasional tadi dan mengirimkannya. secara tertulis ke mahkamah.

Wewenang Ratione Materiae

Pasal 36 ayat 1 statuta dengan jelas menyatakan bahwa wewenang mahkamah meliputi semua perkara yang diajukan pihak-pihak yang bersengketa kepadanya, terutama yang terdapat dalam piagam PBB atau dalam perjanjian-perjanjian dan konvensi-konvensi yang berlaku. Walaupun Pasal 36 ayat 1 ini tidak mengadakan pembedaan antara sengketa hukum dan politik yang boleh dibawa ke mahkamah, dalam praktiknya mahkamah selalu menolak memeriksa perkara-perkara yang tidak bersifat hukum.

Selanjutnya, wewenang mahkamah pada prinsipnya bersifat fakultatif. Ini berarti bahwa jika terjadi suatu sengketa antardua negara, mahkamah baru dengan persetujuan bersama dapat membawa perkara mereka ke mahkamah. Akan tetapi adanya persetujuan antara pihak-pihak yang bersengketa, wewenang mahkamah tidak akan berlaku terhadap sengketa tersebut.

Kompromi

Dalam rangka wewenang fakultatif, sengketa diajukan ke mahkamah melalui suatu komprorni. Jadi, kesepakatan negara-negara yang bersengketa dituangkan dalam suatu kompromi. Di samping itu, perlu dicatat bahwa kompromi tidak mempunyai arti yang sama dengan kompromi arbitrasi. Kompromi bertujuan mengajukan sengketa ke mahkamah yang tidak perlu berisi kesepakatan mengenai komposisi tribund, wewenang, dan prosedur mahkamah. Dalam penyelesaian hukum secara fakultatif mi, kompromi hanya berisikan persetujuan pihak-pihak yang hersengketa untuk mengajukan perkara mereka ke mahkamah.,

Wewenang Wajib (Compulsory Jurisdiction)

Wewenang wajib dan mahkamah hanya dapat terjadi jika negara-negara sebelumnya dalam suatu persetujuan menerima wewenang tersebut.

  • Wewenang Wajib Berdasarkan Ketentuan Konvensional
Seperti juga halnya dengan arbitrasi, dalam praktiknya wewenang wajib mi dapat diterima dalam bentuk klausukz khusus atau dalam bentuk perjanjian-perjanjian umum. Klausula khusus mi terdapat dalam suatu perjanjian sebagai tambahan dan perjanjian itu sendiri. Klausula bertujuan menyelesaikan sengketa-sengketa yang mungkin lahir di masa yang akan datang mengenai pelaksanaan dan interpretasi perjanjian tersehut di depan mahkamah.

Klausula-klausula khusus dijumpai dalam perjanjian-perjanjian perdamaian tahun 1919, perjanjian-perjanjian wilayah-wilayah mandat, dan perjanjian-perjanjian mengenai minoritas. Sesudah perang dunia II, klausulak lausula yang demikian juga terdapat dalarn piagam-piagam konstitutif organisasi-organisasi internasional. Klausula-klausula tersebut terdapat dalam konvensi-konvensi kodifikasi yang baru, misalnya konvensi-konvensi mengenai hubungan diplomatik tahun 1961 dan rnengenai hukum perjanjian tahun 1969.

Di samping itu, ada pula perjanjian-perjanjian umum bilateral dan multilateral, yaitu perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh negara-negara yang khusus bertujuan menyelesaikan secara damai sengketa-sengketa hukum mereka di masa datang di muka mahkamah. Perlu diingat bahwa keharusan
untuk menerima wewenang wjib mahkamah hanya terbatas pada sengketas engketa hukum.

  • Klausula Opsional
Pasal 36 ayat 2 statuta mengatakan bahwa negara-negara pihak statuta, dapat setiap saat menyatakan menerima wewenang wajib mahkamah dan tanpa persetujuan khusus dalarn hubungannya dengan negara lain menerima kewajiban yang sama dalam semua sengketa. hukum mengenai:
  1. penafsiran suatu perjanjian;
  2. setiap persoalan hukurn internasional;
  3. adanya suatu fakta yang bila terbukti akan merupakan pelanggaran terhadap kewajiban internasional;
  4. jenis atau besarnya ganti rugi yang harus dilaksanakan karena pelanggaran dan suatu kewajiban internasional.

Persyaratan

Di samping itu, banyak pula negara yang menerima klausula opsional tersebut dengan persyaratan. Misalnya, mengenai lamanya masa penerimaan klausuki yang dibatasi sampai lima tahun. Di tahun 1946, Amerika Serikat menerima klausula opsional dengan persyaratan penting, yaitu menolak diajukannya sengketa yang herada di hawah domestic jurisdiction atau wewenang nasional.

Mengenai sengketa apa saja yang berada di bawah wewenang nasional itu ditentukan sendiri oLeh Amerika Serikat sesuai Amandemen Conally. Sebagaimana diketahui bahwa tiap-tiap persoalan yang berada langsung di bawah wewenang nasional suatu negara akan lepas dan wewenang organ suatu organisasi internasional. Di samping itu, hukum internasional menentukan soal-soal apa saja yang berada di bawah wewenang nasional suatu negara. Namun, persyaratan yang dihyatakan Amerika Serikat mi ialah persyaratan otornans sehingga mahkarnah tidak dapat lagi ikut campur untuk menentukan apakah suatu persoalan itu jatuh di bawah wewenang nasional atau wewenang internasional. Semuanya telah ditentukan sendiri oleh pemerintah AS sehelurnnva.

Dengan adanya Ainandemen Conally, banyak negara yang mengkritik sehingga menvebahkan negara tidak mau membawa perkaranya ke mahkamah dan mengurangi peranan peradilan dunia tersebut.
Persyaratan otomatis mi juga bertentangan dengan pasal 36 ayat 6 statuta, yang menyatakan “kalau terjadi perbedaan pendapat apakah suatu persoalan berada di bawah wewenang mahkamah atau tidak, mahkamah sendirilah yang akan memutuskannya”.

Pada 18 Februari 1947, Prancis juga menerima klausula opsional, tetapi dengan memasukkan persyaratan dan wewenang nasional, sama seperti apa yang dinyatakan oleh AS, yaitu persyaratan otomatis. Akan tetapi, tahun 1966, Prancis mengubah persyaratan otomatis itu dan selanjutnya mengajukan persyaratan terhadap sengketa-sengketa seperti berikut.

  1. Pihak-pihak yang terlibat setuju untuk menyelesaikan sengketa mereka dengan cara damai.
  2. Sengketa-sengketa yang menurut hukum internasional, khusus berada di bawah wewenang nasional.
  3. Sengketa-sengketa yang lahir dan suatu peperangan atau konflik internasional mempunyai pengaruh langsung terhadap keamanan nasional.
  4. Sengketa-sengketa dengan suatu negara, yang diwaktu lahirnya sengketa tersebut, belum lagi menerima wewenang wajib Mahkamah.

Oleh karena hal tersebut, akhirnya Prancis menarik din dan klausula opsional tanggal 10 Januari 1974 sebagai akibat diajukannya oleh Selandia Baru dan Australia masalah uji coba nuklir Prancis di Pasifik ke mahkamah. Jadi, sebagaimana dilihat persyaratan-persyaratan tersebut sangat membatasi wewenang mahkamah.

Sumber Pustaka: Grafindo Media Pratama
Loading...

Artikel Terkait :