Loading...
Pada saat terjadi serangan tentara Jayakatwang atas Singosari, Raden Wijaya bertugas menghadang serangan yang dilancarkan dari utara. Ternyata serangan yang lebih besar justru dilancarkan dari selatan. Setelah musuh dihalau, Raden Wijaya segera kembali ke istana tetapi dari jauh ia melihat Istana Kerajaan Singosari sudah hampir habis dilalap api. Ketika ia mendengar bahwa Kertanegara telah terbunuh bersama pembesar-pembesar lainya, Raden Wijaya terpaksa melarikan diri bersama beberapa orang di antaranya Nambi, Sora, Rangga Lawe, dan Gajah Pangon. Mereka kemudian mendapat bantuan dari penduduk Desa Kudadu. Setelah merasa aman, Raden Wijaya berangkat ke Madura untuk meminta perlindungan kepada Aryawiraraja. Raden Wijaya diterima dengan baik dan keduanya pun menyusun rencana untuk merebut kembali kekuasaan dari Jayakatwang. Atas nasihat Aryawiraraja, Raden Wijaya kembali ke Jawa dan memohon pengampunan dari Jayakatwang. Atas jaminan dari Aryawiraraja, Raden Wijaya diterima oleh Raja Kediri itu.
Setelah Raden Wijaya mendapat kepercayaan penuh, ia diperbolehkan membuka hutan Tarik yang terletak di Delta Sungai Brantas. Hutan Tarik itu kemudian menjadi sebuah perkampungan yang dihuni oleh orang-orang Madura yang sengaja didatangkan oleh Raden Wijaya dan Aryawiraraja. Secara kebetulan, setelah rencana Raden Wijaya tersusun, mendaratlah tentara Cina-Mongol yang dikirim oleh Kaisar Khubilai Khan untuk menghukum Raja Kertanegara. Tentara Cina-Mongol yang berjumlah 20.000 orang diangkut dengan 1000 buah kapal di bawah pimpinan tiga orang jenderal, yaitu Shihpi, Ike Mese, dan Kao-Shing. Sebagian tentara Cina itu mendarat di Pelabuhan Tuban, sebagiannya lagi mendarat di Pelabuhan Sedayu. Kedatangan tentara Cina itu dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Raden Wijaya untuk menyerang Jayakatwang. Jayakatwang dapat ditaklukkan dan Keraton Kediri dihancurkan. Sesudah menghancurkan Kediri, Raden Wijaya dan tentaranya mengadakan serangan mendadak yang mengakibatkan banyak tentara Cina yang tewas. Setelah berhasil mengusir tentara Cina, Raden Wijaya dinobatkan sebagai Raja Kerajaan Majapahit dengan gelar Kertarajasa Jayawardhana pada tahun 1293.
Raden Wijaya kemudian digantikan putranya, Kala Gemet, pada tahun 1309 dengan gelar Sri Jayanegara. Masa pemerintahannya ditandai dengan sering terjadinya pemberontakan-pemberontakan. Benih-benih pemberontakan itu sebenarnya sudah mulai ada pada masa pemerintahan Raden Wijaya. Namun, karena ia kuat, mereka yang merasa tidak puas tidak berani melakukannya. Baru pada masa pemerintahan Jayanegara, mereka mengadakan pemberontakan karena pemerintahannya lemah.
Raja Jayanegara meninggal dunia tanpa meninggalkan seorang putra pun. Oleh sebab itu, yang seharusnya menjadi raja adalah Gayatri, tetapi karena ia telah menjadi seorangbhiksuni maka digantikan oleh puterinya Bhre Kahuripan dengan gelar Tribhuanatunggadewi Jayawishnuwardhani. Dalam masa pemerintahannya, ia dibantu oleh suaminya yang bernama Kertawardhana. Pemerintahannya berlangsung lancar, namun tidak berarti keadaan benar-benar aman. Pada tahun 1331 timbul pemberontakan yang dilakukan oleh daerah Sadeng dan Keta (Besuki). Pemberontakan itu berhasil ditumpas oleh Gajah Mada yang pada saat itu menjabat sebagai Patih Daha. Atas jasanya itu Gajah Mada diangkat sebagai Mahapatih Kerajaan Majapahit menggantikan Pu Naga.
Setelah menduduki jabatan Mahapatih, Gajah Mada berusaha menunjukkan kesetiannya kepada ratu dan kerajaannya. Ia bercita-cita menyatukan seluruh wilayah Nusantara dalam kekuasaan Majapahit. Untuk merealisasikan cita-citanya ia memperkuat armadanya, baik untuk pertahanan maupun untuk rencana penaklukkan. Usaha besarnya untuk menyatukan wilayah Nusantara dibantu oleh Mpu Nala dan Adityawarman. Pada tahun 1334, Gajah Mada bersumpah untuk tidak makan Palapa sebelum wilayah Nusantara bersatu. Sumpahnya itu dikenal dengan nama Sumpah Amukti Palapa. Sumpah itu diucapkan di tengah-tengah Paseban Agung (Penangkilan), yaitu suatu tempat pertemuan antara raja dan para pembesar kerajaan. Sumpah yang diucapkan dihadapan Maharani dan didengar oleh seluruh pembesar kerajaan menjadi cemoohan dan tertawan pembesar-pembesar lainya. Isi Sumpah Amukti itu sebagai berikut. "Lamun Luwas kalah Nusantara isun amukti Palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, ring Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti Palapa. "Artinya: Saya (Gajah Mada) baru akan berhenti puasa makan palapa bila seluruh Nusantara takluk di bawah kekuasaan kerajaan. Bila Gurun, Seram, Sunda,Palembang, Tumasik sudah ditaklukkan." Maksud Gajah Mada, ia tidak akan makan garam dan rempah-rempah sebelum cita-citanya mempersatukan Nusantara berhasil.
Daerah yang mula-mula ditaklukkan adalah Bali pada tahun 1343. Penaklukkan atas Bali dipimpin langsung Gajah Mada dibantu oleh Adityawarman. Setelah Bali, satu-persatu daerah seperti Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, Sumatra, Semenanjung Malaya, dan Irian berhasil dikuasai. Untuk memperkuat dan mempertahankan kedaulatannya atas daerah Sumatra yang baru saja dikuasai, Adityawarman diangkat oleh Ratu sebagai Raja Melayu menggantikan Raja Mauliwarmadewa. Sebelumnya di Majapahit, Adityawarman menjabat sebagai Wredamantri dengan gelar Dewaraja Pu Aditya. Pada tahun 1350 Rajapatni meninggal. Dengan demikian, Tribhuana mengundurkan diri dari tampuk kekuasaan. Ia digantikan oleh putranya yang bernama Hayam Wuruk yang lahir pada tahun 1334 M.
Hayam Wuruk naik takhta Kerajaan Majapahit dalam usia yang masih sangat muda, yaitu 16 tahun dengan gelar Rajasanagara. Pada masa pemerintahannya yang didampingi oleh Mahapatih Gajah Mada, Kerajaan Majapahit mencapai puncak keemasannya. Dari Kitab Negarakertagama dapat diketahui, daerah kekuasaan Majapahit pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, hampir sama luasnya dengan wilayah Indonesia yang sekarang.
Peristiwa Bubat, yang menewaskan keluarga Kerajaan Sunda, sempat membuat nama besar Gajah Mada ternoda. Namun, hal tersebut tidak menghilangkan kebesarannya. Ia adalah seorang ahli politik, ahli strategi dan ahli perang pada masanya. Selain itu, ia juga seorang ahli hukum. Hal ini terbukti dari Kitab Kutaramanawa hasil karyanya yang digunakan sebagai dasar hukum di Kerajaan Majapahit. Kitab Kutaramanawa disusun oleh Gajah Mada berdasarkan kitab hukum yang lebih tua lagi, yaitu Kutarasastra dan Kitab Hukum Manawasastra. Peranan Gajah Mada yang sangat besar dalam pemerintahan raja-raja Kerajaan Majapahit menyebabkan namanya tetap dikenang hingga sekarang. Pada tahun 1364 Gajah Mada meninggal dunia yang berarti Kerajaan Majapahit kehilangan seorang mahapatih yang tak ada duanya.
Sebagai prioritas utama politik dalam negerinya, terutama pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, diadakan pembangunan dalam segala bidang untuk kesejahteraan rakyatnya. Selain itu, usaha perluasan daerah kekuasaan menjadi perhatian besar terutama setelah Gajah Mada diangkat sebagai maha patih. Sesuai dengan sumpahnya Amukti Palapa, Gajah Mada berhasil menaldukkan satu persatu daerah-daerah yang menjadi sasarannya. Wilayah kekuasaan Majapahit pun bertambah luas dan mencapai puncak keemasannya. Untuk memastikan tertibnya hukum, sekaligus melihat langsung dari dekat kehidupan rakyatnya, Hayam Wuruk secara rutin mengadakan perjalanan ataukunjungan ke daerah-daerah kekuasaannya. Dalam Kitab Negarakertagama disebutkan pada tahun 1352, Hayam Wuruk mengunjungi Pajang, tahun 1354 ke daerah Lasem, ke Lumajang pada tahun 1359, dan ke daerah Tirib dan Sempur pada tahun 1360. Perjalanan berikutnya adalah pada tahun 1361 ke daerah Blitar, kemudian pada tahun 1363 ke daerah Simping sambil meresmikan Candi Simping yang baru saja selesai dibangun.
Pemerintahan Dinasti Yuan (Khubilai Khan) berakhir pada tahun 1368, dan beralih ke tangan Dinasti Ming (1368-1644), yang masih meneruskan politik ekspansinya. Pada saat itu pemerintahan Dinasti Ming merencanakan akan menaklukkan negara-negara selatan.
Untuk menghadapi politik luar negeri Cina, Dewan Batara Sapta Prabu memutuskan untuk menjalin persahabatan dan kerja sama dengan negara-negara di Asia Tenggara dalam bentuk Mitreka Satata, yaitu persahabatan dan kerja sama berdasarkan persamaan derajat. Mitreka berasal dari kata mitra dan ika (mitra=sahabat, ika=itu, satata=satu tata) dalam kedudukan sama derajat dan abadi. Untuk kerja sama itu dalam Kitab Negarakertagama, Mpu Prapanca menulis "Nahan Iwir ning di antara kacaya ri narapati tuhun tang syangkavod dapura kimutang Dharamanagari, Marutmamwang riang Rajapura nguniweh Singhanagari, Campa, Kambonyanyat I Yawawa mitreka satata." yang diterjemahkan sebagai "Demikianlah, di antara negara-negara yang bersekutu dengan Sang Raja terhitung di antaranya: Syangka (Muangthai), Dhamanagari (Kedah), Marutma (Singapura), Campa (Birma), Kambonyanyat (Kamboja) dan Yawana (Annam)."
Dengan terbentuknya Mitreka Satata, pemerintahan Dinasti Ming mulai menyadari bahwa rencananya memaksa negara-negara selatan untuk mengakuinya sebagai Yang Dipertuan Agung akan mendapat perlawanan keras. Oleh karena itu, pemerintahan Dinasti Ming akhirnya memilih menjalin persahabatan dengan negara-negara selatan.
Daftar Pustaka : YUDHISTIRA
Loading...