Loading...
Ketentuan Mawaris
Mawaris berarti hal-hal yang berhubungan dengan waris dan warisan. Ilmu yang mempelajari mawaris disebut Ilmu Faraid. Ilmu artinya pengetahuan dan faraid berarti bagian-bagian yang tertentu. Jadi, Ilmu Faraid adalah ilmu pengetahuan yang menguraikan cara membagi harta peninggalan seseorang kepada ahli waris yang berhak menerimanya.
Artinya: “Pelajarilah Ilmu Faraid, dan ajarkanlah dia kepada manusia, karena faraid itu separuh ilmu, Ia akan dilupakan orang kelak dan Ia pulalah yang mula-mula akan tercabut dan umatku.” (H.R. Ibnu Majah dan Ad-Daruqutni)
Ilmu faraid, sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan Islam, bersumber dan A1-Qur’an dan Hadis. Tujuan diturunkannya Ilmu Faraid adalah agar pembagian warisan dilakukan secara adil, tidak ada ahli waris yang merasa dirugikan sehingga tidak akan terjadi perselisihan atau perpecahan di antara ahli waris karena pembagian warisan.
Pembagian warisan pada masyarakat Arab jahiliah (sebelum Islam lahir) menampal&an ketidakadilan, yaitu antara lain: anak-anak yang belum dewasa (anak-anak yatim) dan istri tidak dapat warisan. Bahkan, istri dianggap sebagai warisan yang berhak diwarisi oleh ahli waris laki-laki dan pihak suami. Islam mengajarkan bahwa anak-anak yatim termasuk ahli waris yang berhak memperoleh bagian dan harta peninggalan kedua orang tuanya. Mengambil bagian yang menjadi hak anak yatim termasuk perbuatan aniaya. Pelakunya diancam dengan siksa. Allah SWT berfirman yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anakyatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (Q.S. An Nisa’, 4: 10)
Demikian juga istri, walaupun ia tidak ada pertalian darah dengan suaminya, termasuk ahli waris yang berhak memperoleh bagian dan harta peninggalan suami, karena ia merupakan orang yang sangat dekat dan besar jasanya terhadap suaminya (lihat Q.S. An-Nisa’, 4: 12)
Ada dua masalah pokok yang harus diketahui dalam mawaris, yaitu sebagai berikut:
Sebab-sebab Memperoleh Harta Warisan
Dalam ajaran Islam sebab-sebab memperoleh harta warisan ada empat, yaitu sebagai berikut:
- Kekeluargaan, misalnya: anak, cucu, ayah, ibu, dan saudara-saudara, berhak memperoleh harta warisan yang ditinggalkan pewaris karena adanya hubungan kekeluargaan. Allah berfirman yang artinya, “Bagi laki-laki ada hak bagian dan harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pu/a) dan harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit maupun banyak, menurut bagian yang telah ditetapkan.” (Q.S. An-Nisa’, 4: 7)
- Perkawinan, istri mendapat bagian dan harta warisan peninggalan suaminya, atau sebaliknya (lihat Q.S. An-Nisã’, 4: 12)
- Wala’, yaitu berhak mendapat bagian dan harta warisan karena memerdekakan hamba sahaya. Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Hubungan orang yang emerdekakan dengan hamba yang dimerdekakannya itu seperti hubungan turunan dengan turunan, tidak dijual dan tidak dibenikan.” (H.R. Ibnu Khuzaemah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim)
- Hubungan seagama, yakni sama-sama Islam. Rasulullah SAW bersabda yang artinya, “Saya (Rasulullah SAW) menjadi waris bagi pewaris yang tidak mempunyai ahli waris.” (H.R. Alimad dan Abu Dawud)
Sebab-sebab Ahli Waris Tidak Berhak Memperoleh Harta Warisan
Sebab-sebab ahli wanis tidak berhak memperoleh harta warisan yang ditinggalkan keluarganya adalah sebagai berikut:
- Budak belian (hamba), ahli waris yang kedudukannya sebagai budak belian tidak berhak memperoleh harta warisan peninggalan keluarganya karena kalau mereka diberi bagian dan harta warisan, maka bagiannya itu akan menjadi milik tuannya. Allah SWT berfirman:
Artinya: “... Hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatu pun....” (Q.S. An NahI, 16: 75)
Akan tetapi, apabila seorang budak belian dijanjikan oleh tuannya akan dimerdekakan, asailcan ia menyerahkan sejumlah uang tebusan, maka ia berhak mendapatkan harta warisan peninggalan keluarganya untuk menebus dirinya. Bahkan, jika masih kurang, ia berhak mendapat bagian dan harta zakat (Baitul Mal) agar bisa menebus dirinya hingga ia menjadi seorang yang merdeka.
- Membunuh, ahli waris yang membunuh pewaris tidak berhak mewarisi harta peninggalan pewaris yang dibunuhnya. Rasulullah SAW bersabda: “Yang membunuh tidak berhak mewarisi harta peninggalan keluarga yang dibunuhnya.” (H.R. An Nasa’i)
- Murtad, ahli waris yang murtad (keluar dan Islam) tidak berhak memperoleh harta warisan peninggalan keluarganya yang beragama Islam. Demikian juga sebaliknya, seorang muslim/muslimat tidak berhak mewanisi harta peninggalan keluarganya yang bukan Islam. Diriwayatkan dan Abu Bardah,beliau berkata, “Saya telah diutus ole/i Rasulullah SAW kepada seorang laki-laki yang kawin dengan istri bapaknya. Nabi SAW menyuruh agar saya membunuh laki-laki tersebut dan membagi hartanya sebagai harta rampasan, sedang laki-laki tersebut murtad.” (Al Hadis)
- Beda agama, orang yang tidak beragama Islam (kafir) tidak berhak menerima harta warisan peninggalan keluarganya yang beragama Islam. Demikian juga sebaliknya, orang Islam tidak berhak mewanisi harta pusaka peninggalan keluarganya yang tidak beragama Islam. Rasulullah SAW bersabda yang artinya, “Seorang muslim tidak berhak mewarisi harta peningga Ian orang kafir, dan orang kafir tidak berhak pu/a mewarisi harta peninggalan orang Islam.” (H.R. Al-Jama’ah).
Sumber Pustaka: Erlangga
Loading...