Loading...
Asal Mula Negara
Menurut teori kontrak sosial atau teori perjanjian masyarakat, negara dibentuk berdasarkan perjanjian-perjanjian masyarakat. Teori ini merupakan teori terpenting mengenai asal-usul negara, tertua, dan relatif bersifat universal. Hal itu karena teori ini ditemukan, baik dalam tulisan-tulisan sarjana Barat maupun sarjana Timur, baik dalam agama nasrani maupun dalam agama islam. Teori asal-mula negara yang didasarkan atas perjanjian masyarakat atau kontrak sosial didasarkan pada pemikiran Thomas Hobbes, John Locke, dan Jean Jacques Rousseau. Hal ini berbeda dengan Thomas Aquinas yang memasukkan doktrin ketuhanan dan monarki demokrasi kepada penguasa. Begitu pula dengan Aristoteles yang membenarkan adanya negara karena kodrat alam, yaitu manusia ditakdirkan untuk hidup bernegara.
Thomas Hobbes
Menurut pemikiran Thomas Hobbes pada umumnya kehidupan manusia terpisah-pisah dalam dua zaman, yakni keadaan sebelum ada negara (status naturalis, state of nature) dan keadaan bernegara. Menurutnya keadaan alamiah sama sekali bukan keadaan yang aman sentosa, adil dan makmur, tetapi suatu keadaan sosial yang kacau tanpa hukum yang dibuat manusia secara sukarela dan tanpa pemerintah, serta tanpa ikatan-ikatan sosial antarindividu itu.
Dalam keadaan demikian, hukum dibuat oleh mereka yang fisiknya terkuat sebagaimana keadaan di hutan belantara. Manusia seakan-akan merupakan binatang dan menjadi mangsa dari manusia lain yang mempunyai fisik lebih kuat darinya. Dalam peribahasa latinnya homo homini lupus. Manusia saling bermusuhan, berada terus-menerus dalam keadaan perang yang satu melawan yang lain. Keadaan semacam ini dikenal sebagai bellum omnium contra omnes (perangantara semua melawan semua). Perang yang dimaksud bukan perang dalam arti peperangan yang terorganisir, tetapi perang dalam arti keadaan bermusuhan yang terus-menerus antarindividu.
Manusia dengan akalnya menyadari bahwa keadaan alamiah itu harus diakhiri demi kelangsungan hidupnya. Hal itu dilakukan dengan cara mengadakan perjanjian bersama. Individu-individu yang hidup dalam keadaan alamiah kemudian berjanji akan menyerahkan semua hak-hak kodratnya kepada seseorang atau sebuah badan. Menurut Hobbes hanya terdapat satu macam perjanjian, yakni pactum subjectionis atau perjanjian pemerintahan dengan jalan segenap individu yang berjanji menyerahkan semua hak-hak kodrat mereka yang dimiliki ketika hidup dalam keadaan alamiah kepada seseorang atau sekelompok orang yang ditunjuk untuk mengatur kehidupan mereka.
Perjanjian belumlah cukup, perlu ada orang atau sekelompok orang yang ditunjuk dan diberikan kekuasaan. Negara harus berkuasa penuh sebagaimana halnya dengan binatang buas (leviathan) yang dapat menaklukkan segenap binatang buas lainnya. Negara harus diberikan kekuasaan yang mutlak sehingga kekuasaan negara tidak dapat ditandingi dan disaingi oleh kekuasaan apa pun. Pemikiran Hobbes tersebut meletakkan dasar-dasar falsafah dari negara yang mutlak, teristimewa negara kerajaan yang absolut. Menurutnya hanya negara berbentuk kerajaan yang mutlak akan dapat menjalankan pemerintahan yang baik.
John Locke
Menurut John Locke, keadaan alamiah ditafsirkan sebagai suatu keadaan manusia hidup bebas dan sederajat, menurut kehendak hatinya sendiri. Keadaan alamiah ini sudah bersifat sosial karena manusia hidup rukun dan tenteram sesuai dengan hukum akal (law of reason) yang mengajarkan bahwa manusia tidak boleh mengganggu hidup, kesehatan, kebebasan, dan milik sesamanya.
Konsepsi tentang keadaan alamiah menurut John Locke sebagai suatu keadaan of peace, goodwill, mutual assistance, and preservation. Sekalipun keadaan itu suatu keadaan ideal, namun Locke juga merasakan bahwa keadaan itu berpotensi menimbulkan anarki. Hal itu disebabkan manusia hidup tanpa organisasi dan pimpinan yang dapat mengatur kehidupan mereka.
Dalam keadaan alamiah setiap individu sederajat, baik mengenai kekuasaan maupun hak-hak lainnya sehingga penyelenggaraan kekuasaan dan yurisdiksi dilakukan oleh individu sendiri, berdasarkan asas timbal-balik. Setiap individu adalah hakim dari perbuatan dan tindakannya. Oleh karena itu, dalam dirinya sendiri terkandung potensi untuk menimbulkan kegaduhan dan kekacauan. Dengan demikian, manusia perlu membentuk negara dengan suatu perjanjian bersama.
Dasar kontraktual dari negara dikemukakan Locke sebagai peringatan bahwa kekuasaan tidak pernah mutlak, tetapi selalu terbatas karena dalam mengadakan perjanjian dengan seorang atau sekelompok orang, individu-individu tidak menyerahkan seluruh hak-hak alamiah mereka. Ada hak-hak alamiah yang merupakan hak-hak asasi yang tidak dapat dilepaskan. Penguasa yang diserahi tugas mengatur hidup individu dalam ikatan kenegaraan harus menghormati hak-hak asasi tersebut.
Demikian halnya dalam konstruksi perjanjian, terdapat perbedaan mendasar antara Locke dan Hobbes. Jika Thomas Hobbes hanya mengkonstruksi satu jenis perjanjian masyarakat saja, yaitu pactum subjectionis, John Locke mengajukan kontrak itu dalam fungsinya yang rangkap (2 fase).
Pertama : Individu dengan individu lainnya mengadakan suatu perjanjian masyarakat untuk membentuk suatu masyarakat politik atau negara. John Locke sekaligus menyatakan bahwa suatu permufakatan yang dibuat berdasarkan suara terbanyak dapat dianggap sebagai tindakan seluruh masyarakat, karena persetujuan individu-individu untuk membentuk negara mewajibkan individu-individu lain untuk mentaati negara yang dibentuk dengan suara terbanyak tersebut. Negara yang dibentuk dengan suara terbanyak tidak dapat mengambil hak-hak milik manusia dan hak-hak lainnya yang tidak dapat dilepaskan.
Kedua : John Locke menambah pactum unionis dengan suatu pactum subjectionis. Selain itu, John Locke juga berpandangan bahwa individu mempunyai hak-hak yang tidak dapat dilepaskan pada negara berupa life, liberty, and estate. Hak-hak itu merupakan hak-hak kodrat yang dimiliki individu sebagai manusia, sejak ia hidup dalam keadaan alamiah. Hak-hak itu mendahului adanya kontrak sosial yang dibuat, dan karena itu hak-hak itu tidak bergantung pada kontrak. Bahkan, menurut John Locke, fungsi utama perjanjian masyarakat ialah untuk menjamin dan melindungi hak-hak kodrat tersebut.
Dengan kontruksi demikian ini, Locke menghasilkan negara yang dalam kekuasaannya dibatasi oleh hak-hak kodrat yang tidak dapat dilepaskan itu. Dengan kata lain, ajaran ini menghasilkan negara konstitusional dan bukan negara absolut tanpa batas-batas. Oleh karena teorinya ini, John Locke disebut sebagai "Bapak Hak-Hak Asasi Manusia".
Jean Jacques Rousseau
J.J. Rousseau adalah orang yang pertama kali menggunakan istilah "Kontrak Sosial" dengan makna dan orisinalitas yang tersendiri. Ia memisahkan suasana kehidupan manusia dalam dua zaman, yaitu zaman pra-negara dan zaman bernegara. Keadaan alamiah itu diumpamakannya sebagai keadaan sebelum manusia melakukan dosa, suatu keadaan yang aman dan bahagia. Dengan anggapan seperti itu, ia memberikan corak mistis pada pemikirannya mengenai zaman pra-negara. Dalam keadaan alamiah, hidup individu bebas dan sederajat. Semuanya dihasilkan sendiri oleh individu dan individu itu puas. Tindakan mereka didasarkan atas kepercayaan pada diri sendiri dan atas belas kasihan bagi sesamanya. Dalam konstruksi ini, seseorang dalam keadaan "Noble Savage"
Manusia sadar akan adanya ancaman-ancaman potensial atas hidup dan kebahagiaannya yang dapat menimpa diri mereka dalam keadaan alamiah itu. Dalam keadaan seperti itu, lambat laun dapat menjadi penghalang-penghalang bagi kemajuan individu lebih besar dari alat-alat yang ada pada individu.
Pada akhirnya keadaan alamiah itu tidak mungkin dapat dipertahankan seterusnya, manusia dengan penuh kesadaran mengakhiri keadaan itu dengan suatu kontrak sosial atau ketentuan perjanjian masyarakat. Dengan ketentuan-ketentuan perjanjian masyarakat seperti itu, berlangsunglah peralihan dari keadaan alamiah ke keadaan bernegara.
J.J. Rousseau hanya mengenal perjanjian masyarakat yang sebenarnya, pactum unionis, tidak mengenal pactum subjectionis yang membentuk pemerintah yang ditaati. Pemerintah tidak mempunyai dasar kontraktual. Hanya organisasi politiklah yang dibentuk dengan kontrak. Pemerintah sebagai pimpinan organisasi itu dibentuk dan ditentukan oleh yang berdaulat dan merupakan wakil-wakilnya, yang berdaulat adalah rakyat seluruhnya melalui kemauan umumnya.
Negara atau badan korporatif kolektif yang dibentuk itu menyatakan kemauan umum (general will) yang tidak dapat keliru atau salah, tetapi tidak senantiasa progresif. Kemauan umum inilah yang mutlak berdaulat. Kemauan umum tidak selalu berarti kemauan seluruh rakyat. Ada kalanya terdapat perbedaan-perbedaan antara kemauan umum dan kemauan seluruh rakyat. Kemauan umum selalu benar dan ditujukan kepada kebahagiaan bersama, sedangkan kemauan seluruh rakyat juga memperhatikan kepentingan individual merupakan keseluruhan kemauan-kemauan khusus tersebut.
Konstruksi perjanjian masyarakat J.J. Rousseau tersebut menghasilkan bentuk negara yang kedaulatannya berada di tangan rakyat seperti kemauan umumnya J.J. Rousseau. Jadi, peletak dasar paham kedaulatan rakyat atau jenis negara yang demokratis adalah rakyat berdaulat dan penguasa-penguasa negara hanya merupakan wakil-wakil rakyat.
Thomas Aquinas
Thomas Aquinas menganggap Tuhan sebagai principium dari semua kekuasaan. Meskipun Tuhan memberikan principium itu kepada penguasa, rakyatlah yang menentukan modus dan bentuknya yang tetap, dan bahwa rakyat pula yang memberikan kepada seseorang atau segolongan orang exercitum dari kekuasaan. Oleh karena itu, teori Thomas Aquinas ini bersifat monarcho-demokratis, yaitu bahwa di dalam ajaran tersebut terdapat unsur-unsur monarki di samping unsur-unsur yang demokratis.
Melalui doktrin ketuhanan itu diusahakan agar kekuasaan raja mendapatkan sifatnya yang suci. Dengan demikian, pelanggaran terhadap kekuasaan raja merupakan pelanggaran terhadap Tuhan, karena raja dianggap sebagai wakil Tuhan.
Aristoteles
Aristoteles pertama kali mengemukakan teori asal mula negara dengan kalimat bahwa teori alamiah (natural theory) tentang asal mula negara dikemukakan. Menurutnya negara adalah ciptaan alam. Kodrat manusia membenarkan adanya negara, karena manusia pertama-tama adalah makhluk politik (zoon politicon) dan baru kemudian makhluk sosial. Oleh karena itu, manusia ditakdirkan untuk hidup bernegara. Manusia dapat dikatakan sebagai manusia yang sempurna, atau beretika baik, apabila manusia hanya mengenal dua opsi, yaitu dia binatang atau dewa. Negara adalah organisasi yang rasional dan etis yang memungkinkan manusia mencapai tujuan dalam hidupnya, untuk mencapai yang baik dan adil. Oleh karena itu, Aristoteles melihat tujuan dan raison d'etre dari negara adalah memberikan dan mempertahankan hidup yang baik bagi individu. Hal ini merupakan komponen-komponen dari negara. Harus ditambahkan dalam hal ini bahwa bagi Aristoteles, negara adalah kota atau polis.
Daftar Pustaka : YUDHISTIRA
Loading...