Loading...
Shalat khauf artinya shalat yang dilaksanakan waktu ketakutan, kekacauan, kekhawatiran menghadapi serangan atau sedang berperang menghadapi musuh. Agama Islam mengatur cara melakukan shalat dalam keadaan bahaya atau dalam keadaan perang. Dalam hal ini jika perang itu memakai senjata tajam atau tidak dapat membunuh dari jarak jauh, maka kita perhatikan :
1. Apabila musuh tidak berada di jurusan kiblat maka , hendaknya imam membagi orang-orang yang akan menjalankan shalat menjadi dua kelompok. Satu kelompok menghadapi musuh dan mempertahankan musuh, sedangkan satu kelompok shalat jama`ah bersama-sama imam, satu raka'at, saja, kemudian imam tetap berdiri sedangkan mereka meneruskan shalat sendiri-sendiri.
Selesai mereka shalat lalu menggantikan kelompok yang menjaga musuh, kemudian kelompok yang belum shalat ini datang di belakang imam dan shalat bersama imam satu raka'at kemudian mereka menyelesaikan shalatnya sendiri-sendiri.
2. Apabila musuh di arah kiblat, maka imam membagi barisan menjadi dua shaf (dua baris). Mula-mula imam bersama-sama kedua barisan membaca takbir permulaan. Jika imam sujud maka barisan pertama saja yang ikut sujud, sedangkan barisan kedua tetap berdiri dan menghadapi serta mengawasi musuh. Jika imam dan barisan pertama sudah berdiri lagi, maka barisan kedua sujud dan menyusul. Demikian seterusnya. Dengan demikian musuh selalu diawasi dan kelihatan gerak-geriknya.
3. Apabilas keadaan sangat genting dan sudah dekat sekali musuhnya serta sudah campuh perang, maka caranya shalat sedapatnya saja, baik dengan berjalan, lari, naik kuda, menghadap kiblat maupun tidak. Pada masa sekarang, di mana pertempuran biasanya dapat membunuh dari jarak jauh dan sistim menyerang dengan merangkak dan dingkikan, kita ambil cara sebagai berikut:
- Dalam keadaan Berjaga-jaga.
Yaitu dalam keadaan siap siaga di mana musuh belum menyerang atau tidak berhadapan muka dengan musuh, maka tentara dibagi menjadi dua kelompok dengan satu imam seperti pada nomor satu tersebut di atas, atau dengan dua imam dan masing-masing shalat bersama-sama kelompok yang diimami.
Jadi satu kelompok dengan imam satu shalat jama`ah dan menyelesaikan jama`ahnya, kemudian setelah selesai lalu menggantikan (ngamplosi) kelompok satunya lagi, kemudian kelompok yang belum shalat tadi bersama-sama imam satunya yang belum shalat, mengerjakan shalat bersama-sama. Hal ini terserah kebijaksanaan komandan atau panglima.
- Dalam keadaan campuh.
Apabila keadaan sudah tidak mengizinkan cara yang nomor satu, yaitu dalam keadaan berhadapan dengan musuh secara langsung dan sudah campuh, maka shalat dilaksanakan sendiri sedapatnya, sambil merangkak, lari, meloncat, menembak, menusuk musuh sambil membaca takbir, membunuh musuh dengan membaca bismillah, setelah terbunuh musuh membaca alhamdulillah dan sebagainya, sedapat-dapatnya.
Mati dalam menghadapi musuh dan dalam keadaan shalat adalah baik sekali, termasuk mati syahid dan husnul khotimah.
Dalam keadaan apapun shalat itu bisa dilaksanakan dan wajib dilaksanakan. Yang pokok ialah wajib dilaksanakannya itu. Kita jangan sampai terikat oleh cara-cara di waktu pertempuran itu masih mempergunakan tombak, golok, pedang, panah dan sebagainya, dan permulaan penyerangan itu nampak sekali dan pertempurannya teratur seperti orang berbaris. Pengaturan seperti ini tepat sekali dilaksanakan pada abad ketujuh masehi atau pada abad pertengahan. Waktu itu pengaturan shalat khauf semacam itu tepat sekali.
Tetapi kalau kita tinjau tentang kewajiban melaksanakan shalat adalah muthlak wajib dilaksanakan, sedangkan kalau kita melaksanakannya terikat oleh satu cara yang kalau kita laksanakan pada waktu sekarang berarti bunuh diri atau menguntungkan musuh, sedang maksud berperang dalam Islam adalah untuk mempertahankan diri, membela hak dan hakikat, maka pelaksanaan yang terikat oleh cara yang membawa kebinasaan tersebut adalah bertentangan dengan maksud Agama sendiri.
Yang pokok bagi kita ialah terselenggaranya shalat, tetapi pelaksanaannya berdasarkan ijtihad kita, kita sesuaikan dengan situasi dan kondisi. Peraturan yang tidak memungkinkan kita melaksanakannya dan jika kita melaksanakannya dengan cara itu membawa kehancuran, adalah bukan maksud syara`.
Kita melaksanakan cara beribadah shalat maupun titah-titah agama Islam yang lain menurut cara yang kita sesuaikan dengan situasi dan kondisi inilah yang saya maksudkan dengan kita mengikuti apa yang tersirat dari sunah Rasul.
Apabila kita hanya terikat pada lahiriyah peraturan tetapi tidak mendalami kandungan dan rahasia maksud syari`at Islam, maka kelihatannya kita mengikuti Rasul tetapi sebenarnya bertentangan dengan sunnahnya. Kita tidak dapat memeras sari pati sunnah Rasulullah tetapi hanya mendapatkan kulitnya saja, tidak dapat menikmati kemanisan titah Agama dan keluwesan serti kemanfaatan ajaran Agama Islam.
Hal ini perlu menjadi perhatian generasi pengemban amanat Allah dan amanat umat, untuk mendudukkan ajaran Islam sesuai dengan proporsi yang sebenarnya. Perlu digali dalam segala peraturan Agama Islam yang meliputi segala- macam persoalan hidup manusia sebagai agama kemanusiaan dan sesuai dengan fithrah manusia.
Kembali kepada sunnah Rasul tidak berarti segala sesuatu kita tarik mundur kita paksakan dengan situasi empat belas abad yang lalu. Kita wajib menyelidiki hakikat yang dimaksud dalam tiap-tiap yang tersurat itu untuk mengetahui yang terkandung dan tersirat serta yang ditunjuki atau diisyaratkan dengan sabda-sabda Nabi itu, sebab dengan demikian akan jelaslah kepada kita eiastisitas dan fleksibelitas Agama Islam dengan tidak meninggalkan tonggak kebenaran dan keadi1annya.
Semoga Allah menunjuki generasi penerus ajaran Islam yang tercakup dalam Risalah Muhammadiyah ini ke jalan yang benar-benar sesuai dengan maksudnya, bersama-sama seluruh potensi Umat Islam sebagai generasi yang termasuk Ahlussunnah wal Jama`ah, bukan ahlulmubtadi`ah wal muktazilah.
Sumber Pustaka: PT. AL Ma'arif
Loading...